Monev Kinerja PNS Jakarta Timur 2023

Jakarta | Rabu, 20 Desember 2023 - Kepada yang terhormat, seluruh Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Lingkungan Suku Dinas Pendidikan Wilayah I Kota Administrasi Jakarta Timur.

Pembuatan Pesan Izin GDPR

Rabu, 1 November 2023 - Admin berniat ingin membuka google adsense guna mengecek penghasilan dari adsense,...

Asphalt 9: Ares S1 Grand Prix - Greenland Coastal Ice

Senin, 16 Oktober 2023 - Setelah mencoba tes rekam video melalui software Clipchamp, akhirnya gw mencoba kembali merekam video game.

Claim Daily Events Asphalt 9

Senin, 16 Oktober 2023 - Testing record video pake software Clipchamp.

Penginputan EKIN Bulan Juli 2023

Selasa, 1 Agustus 2023 - Info PTK memberitahukan kepada seluruh PNS dan CPNS di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta.

PT. HIJAS LINE TUJUH TUJUH - HIJAS TRANS 77
Tampilkan postingan dengan label Makalah Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Makalah Hukum. Tampilkan semua postingan

Penguasaan Hak Atas Tanah

Kata “penguasaan” merupakan kata benda dan kata kerjanya adalah “menguasai” yang berasal dari kata dasar “kuasa” dengan imbuhan huruf “i”, sehingga pengertian “penguasaan” dan “menguasai” dalam hukum agraria dapat dipakai dalam arti fisik dan yuridis.

Secara perdata, penguasaan yuridis dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Akan tetapi ada juga penguasaan yuridis yang memberi wewenang untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, yang pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain. Misalnya kalau tanah yang dimiliki disewakan kepada pihak lain dan penyewa yang menguasainya secara fisik, atau tanah tersebut dikuasai secara fisik oleh pihak lain tanpa hak. Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan yuridisnya, berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah-tanah yang bersangkutan secara fisik kepadanya.

Dalam hukum agraria dikenal penguasaan yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik. Kreditor pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan bangunan, tetapi penguasaannya secara fisik tetap ada yang empunya tanah.

Secara publik, pengertian “penguasaan” dan “menguasai” sebagaimana dikatakan dalam Pasal 2 UUPA yang menyatakan bahwa ayat:
  1. Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
  2. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk: (a) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut. (b) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa. (c) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
  3. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.
  4. Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dilaksanakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Selain itu, dalam UUPA diatur dan ditetapkan hirarkis hak-hak penguasaan atas tanah dalam, yaitu:
  1. Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam Pasal 1, sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek perdata, dan publik.
  2. Hak menguasai dari negara yang disebut dalam Pasal 2, semata-mata beraspek publik.
  3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam Pasal 3, beraspek perdata dan publik.
  4. Hak-hak perorangan/individual, semuanya beraspek perdata, terdiri atas: (a) Hak-hak atas tanah sebagai hak-hak individual yang semuanya secara langsung atupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa yang disebut dalam Pasal 16 dan Pasal 53. (b) Hak-hak jaminan atas tanah yang disebut “Hak Tanggungan” dalam Pasal 25, Pasal 33, Pasal 39, dan Pasal 51.
Semua hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriterium atau pembeda diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam UUPA.

Hak-hak yang dimaksudkan misalnya Hak Milik dalam Pasal 20, yang memberi wewenang untuk menggunakan tanah yang dihaki tanpa batas waktu. Hak Guna Usaha yang disebut dalam Pasal 28 dibatasi jangka waktu penggunaan tanahnya. Hak Guna Bangunan, Hak Tanggungan sebagai hak penguasaan atas tanah, juga berisikan kewenangan bagi kreditor untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan bangunan. Akan tetapi, bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur cidera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian sebagai pembayaran lunas hutang debitur kepadanya.

Berbeda halnya Hak Menguasai dari negara yang meliputi semua tanah tanpa ada yang terkecuali. Hak Menguasai, negara tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah secara fisik dan menggunakannya seperti hak atas tanah, karena sifatnya semata-mata hukum publik, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 UUPA di atas. Hal ini, apabila negara sebagai penyelenggara memerlukan tanah untuk melaksanakan tugasnya, tanah yang bersangkutan akan diberikan kepadanya oleh negara selaku Badan Penguasa, melalui Lembaga Pemerintah yang berwenang. Tanah diberikan kepada lembaga tersebut dengan satu hak atas tanah, untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, bukan sebagai Badan Penguasa yang mempunyai Hak Menguasai yang disebut dalam Pasal 2 UUPA, tetapi sebagai badan hukum seperti halnya perorangan dan badan-badan hukum perdata yang diberi dan menjadi pemegang hak atas tanah.

Disamping itu juga, ada pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam UUPA, ada yang disebut sebagai “Lembaga Hukum”, ada pula sebagai “Hubungan_Hubungan Hukum Konkrit”.

Hak penguasaan atas tanah merupakan suatu “Lembaga Hukum”, apabila belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya. Sebagai contoh dapat disebut Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, dan Hak Sewa Untuk Bangunan.

Hak penguasaan atas tanah yang merupakan suatu “Hubungan Hukum Konkrit” (biasanya disebut dengan hak), apabila telah dihubungkan dengan tanah tertentu sebagai obyeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subyek atau pemegang haknya. Sebagai contoh adalah hak-hak atas tanah yang disebut dalam ketentuan Konversi UUPA.

Dengan pendekatan pengertian hak penguasaan atas tanah sebagai “Lembaga Hukum” dan “Hubungan Hukum Konkrit”, ketentuan-ketentuan hukum yang mengaturnya dapat disusun dan dipelajari dalam suatu sistematika yang khas dan masuk akal.

Dikatakan “khas”, karena hanya dijumpai dalam hukum tanah yang tercantum dalam UUPA dan tidak dijumpai dalam hukum lain. Dikatakan “masuk akal” karena mudah ditangkap dan ikuti oleh logikanya.
  1. Ketentuan-Ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai “Lembaga Hukum”, seperti: (a) Memberi nama pada hak penguasaan yang bersangkutan. (b) Menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib, dan dilarang untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya. (c) Mengatur hal-hal mengenai subyeknya, siap yang boleh menjadi pemegang haknya dan syarat-syarat bagi penguasaannya. (d) Mengatur hal-hal mengenai tanahnya.
  2. Ketentuan-Ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai “Hubungan Hukum Konkrit”, diantaranya: (a) Mengatur hal-hal mengenai penciptaannya menjadi suatu hubungan hukum yang konkrit, dengan nama atau sebutan yang dimaksudkan dalam 1a diatas. (b) Mengatur hal-hal mengenai pembebanannya dengan hak-hak lain. (c) Mengatur hal-hal mengenai pemindahannya kepada pihak lain. (d) Mengatur hal-hal mengenai hapusnya. (e) Mengatur hal-hal mengenai pembuktiannya.
*Makalah ini pernah diunduh oleh Moh. Hibatul Wafi pada tanggal 11 Desember 2009 dalam data pribadinya di laptop pada masa studinya, sebagai pencarian tugas makalah hukum.

Pengertian Hukum Agraria

Oleh Moh. Hibatul Wafi*

Sebutan agraria tidak selalu dipakai dalam arti yang sama, dalam bahasa Latin ager berarti tanah atau sebidang tanah atau pertanahan, sedangkan agrarius berarti perladangan, persawahan, pertanian.[1] Agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah.[2] Sebutan agraria dalam bahasa Inggris adalah agraria yang diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian.[3] Sebutan agraria laws bahkan seringkali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat peraturan-peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikan.[4]

Berdasarkan pengertian tersebut berarti menurut penulis yang dimaksudkan agraria adalah hal ikhwal yang berkaitan dengan tanah atau pertanahan. Tanah bagi manusia merupakan hal yang terpenting bagi hidup dan kehidupannya. Di atas tanah, manusia dapat mencari nafkah seperti bertani, berkebun, beternak, bersawah, dan lain-lain. Di atas tanah pula manusia membangun rumah sebagai tempat bernaung dan membangun berbagai bangunan lainnya untuk perkantoran dan sebagainya. Tanah juga mengandung berbagai macam kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan manusia. Oleh karena itu, setiap orang pasti mempunyai keinginan untuk dapat memiliki tanah lengkap dengan perlindungan hukumnya. Perlindungan itu diwujudkan dengan pemberian macam hak atas tanah oleh negara sebagai petugas pengatur. Untuk dapat mewujudkan keteraturan dan ketertiban perlu dibentuk perundang-undangan yang jelas dan tegas.

Dalam berbagai peraturan yang ada sebutan agraria masih menunjukkan pada masalah tanah dan pertanahan, termasuk badan yang dibentuk oleh pemerintah, yaitu Badan Pertanahan Nasional, menggunakan kata tanah, meskipun perangkat peraturan perundang-undangannya menyebut dengan istilah agraria.

Perkembangan selanjutnya istilah agraria tidak diartikan dengan tanah saja, tetapi pengertiannya lebih luas yang meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pengertian bumi meliputi permukaan (yang disebut tanah) tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Seluruh air, dalam arti perairan, baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Republik Indonesia, misalkan ikan, garam, mutiara, teripang, dan sebagainya. Sumber-sumber kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi, yang disebut dengan bahan-bahan galian atau sumber-sumber galian yang pada dasarnya merupakan objek dari usaha-usaha industri, pertambangan, dan sejenisnya. Ruang angkasa yaitu ruang di atas bumi dan air yang mengandung tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu.

Hal ini dipertegas dalam Pasal 5 UUPA yang menyatakan : “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas satuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Oleh karena itu, menurut A.P. Parlindungan, dari ketentuan Pasal 5 UUPA tersebut dapat dibagi atas :
  1. Hukum yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah berdimensikan hukum adat.
  2. Pro kepentingan nasional.
  3. Pro kepada kepentingan negara.
  4. Pro kepada persatuan bangsa.
  5. Pro kepada sosialisme Indonesia.
  6. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
  7. Ditambah dengan hukum agama.[5]
Hal yang berbeda dikemukakan oleh Purnadi dan Ridwan, hukum agraria pada dasarnya ialah suatu hukum yang mengatur perihal tanah beserta seluk beluk yang ada hubungannya dengan pertanahan, misalkan hal perairan, perikanan, perkebunan, pertambangan, dan sebagainya.[6]

Dengan demikian, penulis dalam pembahasan makalah ini lebih menekankan pada pengertian agraria dengan tanah, karena fungsi dan peran tanah dalam berbagai sektor kehidupan manusia, memiliki empat (4) aspek yang sangat strategis, yaitu aspek ekonomi, aspek politik, aspek hukum, dan aspek sosial.[7] Keempat aspek tersebut merupakan isu sentral yang paling terkait sebagai satu kesatuan yang terintegrasi dalam pergaulan proses kebijakan hukum pertanahan yang dilakukan oleh pemerintah.[8]

Beberapa pendapat juga menunjukkan bahwa pengertian agraria menunjuk pada hal ikhwal tanah dan pertanahan, seperti dikemukakan beberapa pakar hukum di bawah ini.

Subekti Tjitrosudibio, agraria adalah urusan tanah dan segala apa yang ada didalamnya dan diatasnya, seperti telah diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria, LN 1960-104. Hukum agraria (agrarische recht) adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan hukum, baik Hukum Perdata, Hukum Tata Negara (staatsrecht), maupun Hukum Tata Usaha Negara (administrative recht) yang mengatur hubungan-hubungan antara orang termasuk badan hukum, dengan bumi, air, dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara dan mengatur pula wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan-hubungan tersebut”.[9]

Sudargo Gautama, “…hukum agraria memberikan lebih banyak keleluasan untuk mencakup pula didalamnya berbagai hal yang mempunyai hubungan pula dengan, tetapi tidak melulu mengenai tanah. Misalnya persoalan tentang jaminan tanah untuk hutang, seperti ikatan kredit (crediet-verband), atau ikatan panen (oogstverband), zekerheidsstelling, sewa menyewa antar golongan, pemberian izin untuk peralihan hak-hak atas tanah dan barang tetap, dan sebagainya, lebih mudah dicakupkan pada istilah pertama yaitu hukum agraria daripada istilah hukum tanah”.[10]

Utrecht, beliau secara tegas memberikan pengertian yang sama pada Hukum Agraria dan Hukum Tanah, tetapi dalam arti sempit, yaitu hanya meliputi bidang Hukum Administrasi Negara, yang menurutnya “Hukum Agraria dan Hukum Tanah menjadi bagian Hukum Tata Usaha Negara yang menguji perhubungan-perhubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat yang bertugas mengurus soal-soal tentang agraria, melakukan tugas mereka itu”.[11]

Fockema Andreae merumuskan hukum agraria sebagai keseluruhan peraturan-peraturan hukum mengenai usaha dan tanah pertanian, tersebar dalam berbagai bidang hukum, seperti hukum perdata dan hukum pemerintahan yang disajikan sebagai satu kesatuan untuk keperluan studi tertentu.[12]

J. Valkhoff, hukum agraria bukan semata ketentuan hukum yang berhubungan dengan pertanian, melainkan hanya yang mengatur lembaga-lembaga hukum mengenai penguasaan tanah.[13]

Dengan demikian, pengertian hukum agraria dan agraria itu sendiri dalam makalah ini dimaksudkan adalah Hukum Tanah dan Tanah, serta Hukum Tanah bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, ia hanya mengatur salah satu aspek yuridisnya yang disebut hak-hak penguasaan atas tanah. Kajian hukum agraria, objek perhatiannya bukan tanahnya, melainkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban berkenaan dengan tanah yang dimiliki dan dikuasai dalam berbagai bentuknya, meliputi kerangka hukum dan institusionalnya, pemindahannya, serta pengawasannya oleh masyarakat.

Untuk memberikan batasan mengenai sebutan tanah yang selama ini diartikan berbagai arti, maka dalam penggunaannya perlu dibatasi, agar diketahui dalam arti apa istilah yang digunakan. Dalam hukum agrarian sebutan tanah telah diberi batasan menurut Undang-Undang Pokok Agraria. Dalam Pasal 4 UUPA dinyatakan bahwa: “atas dasar menguasai dari Negara…. ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang….”.

Dengan demikian, bahwa yang dimaksudkan tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi yang berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.

Tanah yang diberikan kepada orang/badan hukum dan dipunyai orang dengan hak-hak yang disediakan oleh Undang-Undang Pokok Agraria untuk digunakan dan dimanfaatkan. Dengan diberikannya dan dipunyainya tanah dengan hak-hak tertentu tidak akan bermakna dan tidak mempunyai arti apapun, jika penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja. Untuk keperluan apapun diperlukan juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya. Oleh karena itu, dalam Pasal 4 ayat (2) menyatakan bahwa: “hak-hak atas tanah bukan hanya memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang bersangkutan yang disebut “tanah”, tetapi juga tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya”.

Dengan demikian, yang dimaksud dipunyai dengan hak atas tanah itu adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi, akan tetapi wewenang menggunakan yang bersumber pada hak tersebut diperluas hingga meliputi juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada di bawah tanah dan air serta ruang yang ada di atasnya.

Tubuh bumi dan air serta ruang yang dimaksudkan bukan kepunyaan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Hal itu ada batasnya seperti yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA dengan kata-kata : “sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi”.

Untuk menentukan seberapa dalamnya tubuh bumi dan seberapa tinggi ruang boleh digunakan, tentu saja ditentukan oleh undang-undang. Untuk menentukannya yang ditentukan oleh tujuan penggunaannya dalam batas-batas kewajaran, perhitungan teknis kemampuan tubuh buminya sendiri, kemampuan pemegang haknya serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Penggunaan tubuh bumi itu harus ada hubungan langsung dengan gedung yang dibangun di atas tanah tersebut. Misalnya untuk pemancangan tiang-tiang pondasi, untuk pondasi rumah, dan lain-lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanah meliputi :
    1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali.
    2. Keadaan bumi di suatu tempat.
    3. Permukaan bumi yang di beri batas.
    4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (misalnya pasir, cadas, dan lain-lain).[14]
    Menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) hak atas tanah tidak meliputi pemilikan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (bumi yang di bawahnya air dan ruang angkasa). Dalam Pasal 8 UUPA menyebutkan bahwa: “karena…. hak-hak atas tanah itu hanya memberii hak atas permukaaan bumi, maka wewenang-wewenang yang bersumber daripadanya tidaklah mengenai kekayaan-kekayaan alam yang terkandung dalam tubuh bumi, air, dan ruang angkasa. Oleh karena itu, maka pengambilan kekayaan yang dimaksudkan itu memerlukan pengaturan tersendiri. Ketentuan ini merupakan pangkal bagi perundang-undangan pertambangan dan lain-lain.

    Oleh karena itu, dalam pemanfaatan tanah yang berupa tubuh bumi dan air hanya untuk keperluan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah yang dihaki diperbolehkan. Akan tetapi, apabila tanah dan air itu diambil atau diolah untuk dijual, diperlukan hak atas izin khusus yang diatur menurut undang-undang tersendiri, misalnya Undang-Undang Pertambangan, dan lain-lain. Begitu juga pengambilan dan penggunaan kekayaan alam yang terkandung di dalam ruang angkasa memerlukan hak khusus yang disebut dengan Hak Guna Ruang Angkasa.

    Di samping itu, juga ada aturan lain yang mengatur mengenai bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah, bahwa dalam hukum tanah apa yang dikenal dengan azas accessie atau azas pelekatan, bangunan dan tanaman yang ada di atas dan merupakan satu kesatuan dengan tanah merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Oleh karena itu, hak atas tanah dengan sendirinya, karena hukum meliputi juga pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atas yang dihaki, kecuali kalau ada kesepakatan lain dengan pihak yang membangun atau menanamnya.

    Oleh karena itu, perbuatan hukum mengenai tanah meliputi juga pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atasnya. Pada umumnya bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah adalah milik yang empunya tanah. Akan tetapi menurut azas Hukum Adat yang disebut “azas pemisahan horizontal” (dalam bahasa Belanda horizontale scheiding), maka hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atasnya. Perbuatan hukum yang mengenai tanah tidak dengan sendirinya meliputi bangunan dan tanaman milik yang empunya tanah yang ada di atasnya. Apabila perbuatan hukumnya dimaksudkan meliputi juga bangunan dan tanamannya, maka hal ini secara tegas harus dinyatakan dalam akta yang membuktikan dilakukannya perbuatan hukum yang bersangkutan.

    NB: Makalah asli beserta footnote dapat diunduh disini.

    *Makalah ini hasil dari studi perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Syari'ah & Hukum Jurusan Peradilan Agama (Akhwal Asy-Syakhsiyyah).

    Bekerjanya Hukum di Masyarakat

    Oleh Moh. Hibatul Wafi*

    Dalam bekerjanya hukum di masyarakat, harus ada ciri-ciri antara lain :
    1. Kaidah normatif, merupakan ketentuan-ketentuan hukum yang diambil dari nilai-nilai yang ada di dalam hidup masyarakat, yang lebih spesifik.
    2. Adanya lembaga hukum yang bekerja karena lembaga tersebut sebagai alat hukum bagi kehidupan masyarakat, misalnya Pengadilan Agama.
    3. Substansi hukum merupakan isi dari suatu hukum, misalnya peraturan perundang-undangan.
    4. Budaya hukum merupakan aturan yang menurut perilaku dan sikap.
    5. Keadilan hukum.
    Dalam penegakan hukum, ada istilah egimoni piltik atau eginomi kekuasaan. Menurut Karl Marx, penegakan hukum mempunyai otoritas kekuasaan atau negara. Setiap negara apa pun itu harus mempunyai tujuan bernegara. Menurut Mahfud MD, negara berasumsikan sebagai hukum produk politik terlahir dari aturan, aturan itu sendiri berasal dari DPR dan hukum dipengaruhi oleh politik.

    Des Sole, yaitu membuat kebijakan yang memberikan kemaslahatan kepada masyarakat. Des Sein, yaitu sebuah kenyataan. Civil Society, contoh : NU, LSM, dan lembaga-lembaga lainnya.

    *Pernah dicatat pada masa perkuliahan 21 Februari 2011.

    Politik Ideologi Penegakan Hukum

    Oleh Moh. Hibatul Wafi*

    Politik Hukum
    Politik adalah permainan kekuasaan yang di dalam masyarakat tidak ada hukum (hukum rimba), melarat, dan berbudaya rendah pun tetapi politik tetap ada. Politik berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan dan sistem politik untuk tercapainya tujuan bersama yang telah ditetapkan. Dalam hal ini adanya penggunaan kekuasaan agar tujuan tersebut dapat terlaksana, perlu dipahami bahwa tujuan yang telah ditetapkan tersebut merupakan tujuan politik dan bukan tujuan individu.

    Poltik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi pembangunan hukum yang berintikan pembuatan serta pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan, seperti pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada, termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.

    Ideologi Penegakan Hukum
    Hampir seluruh pendiri sosiologi dan ilmu sosial lahir dari spekulasi, akibatnya sosilogi seringkali berteman erat dengan ideologi-ideologi berat dunia, khususnya sosiologi hukum yang dijadikan sebagai dependent variable.

    Salah satu fungsi hukum adalah alat penyelesaian sengketa atau konflik, sebagai alat pengendalian sosial dan alat rekayasa sosial. Hukum berperan sebagai agen kekuasaan (pihak eksekutif), maka hukum sebagai instrumen Negara dan hukum dapat dipisahkan dari masyarakatnya.

    Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh masyarakat. Hukum sebagai dasar penolong bagi mereka yang diuntungkan dan bukan sebagai hantu bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang seharusnya bersifat netral bagi pencari keadilan, tetapi sebaliknya hukum di Indonesia sekarang bersifat politik dan menjadi suatu lumrah bagi pejabat-pejabat negara memakai hukum sebagai tameng untuk melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

    *Kajian diatas merupakan catatan dari mata kuliah Sosiologi Hukum, dengan bimbingan dosen pak Asep Syarifuddin di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Catatan 21 Februari 2011.

    Sejarah dan Pemikiran Tokoh Sosiologi Hukum

    Oleh Moh. Hibatul Wafi

    Sesuai dengan judul diatas, makalah ini pernah disajikan dalam suatu kajian perkuliahan di salah satu Universitas Islam Negeri di Jakarta yang dibimbing oleh Asep Syafruddin selaku dosennya dalam mata kuliah Sosiologi Hukum.

    Dalam penyampaian topik tersebut, terdapat tokoh-tokoh yang membicarakan mengenai ilmu sosial dalam hukum di kehidupan masyarakat, diantaranya Montesquieu (1689-1755), Friederich Karl Von Saviguy (1770-1861), dan Herbert Spencer (1820-1903).

    Menurut Montesquieu, beliau menganggap hukum sebagai suatu kebudayaan masyarakat tertentu, dan dijelaskan dalam buku Spirit Of Laws (1886), yakni bahwa hukum merupakan hasil dari berbagai faktor dalam masyarakat, seperti adat istiadat, lingkungan fisik, dan perkembangan masa lampau sehingga hukum hanya dapat dimengerti dalam kerangka kehidupan masyarakat, dimana hukum itu berkembang. Hukum itu bersifat relatif. Dalam pemikiran ini terdapat konstitusi yang mencakup 3 (tiga) tipe kekuasaan hukum yang berbeda yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
    1. Legislatif berfungsi sebagai menetapkan hukum baru.
    2. Eksekutif berfungsi sebagai mengatur pelaksanaan dan merangkap hukum.
    3. Yudikatif berfungsi sebagai menafsirkan hukum.
    Sedangkan menurut Friederich, hukum tidak seharusnya disusun dengan sengaja oleh pembentuk hukum secara fundamental, hukum terbentuk oleh adat istiadat dan kepercayaan popular atau kekuatan-kekuatan internal yang bekerja secara diam-diam.

    Catatan 21 Februari 2011

    Sejarah Dewan Perwakilan Rakyat

    Oleh Moh. Hibatul Wafi

    DESENTRALISASI
    Ketika kekuasaan untuk mengatur pemerintahan di tanah jajahan terpusat di tangan gubernur jenderal yang berkedudukan di Buitenzorg (sekarang Bogor), dapat dikatakan mekanisme birokrasi yang berjenjang, boleh jadi cukup efektif dalam melaksanakan kebijakan kolonial. Akan tetapi, segi positif ini tidak cukup beralasan untuk tetap dipertahankan dalam mempertimbangkan sebuah sentralisasi kekuasaan, mengingat tugas-tugas kepemerintahan pada kenyataannya tetap harus ditangani oleh para ambtenaar pangreh praja setempat. Jalur prosedur yang panjang berliku hanya akan menciptakan birokrasi yang menyesakkan dan menghambat gerak efisiensi kerja.

    Berbagai urusan dan masalah spesifik yang muncul di daerah akan dapat ditangani dengan baik jika desentralisasi pemerintahan kolonial dipraktikkan. Tidak hanya banyak tugas dapat didelegasikan kepada dewan-dewan daerah (gewestelijke raden), tetapi suatu kebijakan yang sudah disesuaikan dengan masalah khusus dari suatu daerah akan dapat dilaksanakan dengan baik di wilayah tersebut. Undang-Undang Desentralisasi memungkinkan dibentuknya dewan-dewan daerah, walau pada tahun-tahun pertama undang-undang tersebut dijalankan tidak banyak perubahan yang dapat dimunculkan.

    Desentralisasi adalah konsekuensi dari Politik Etis (Etische Politiek) yang gencar dikampanyekan sejak akhir abad XX. Desentralisasi adalah sasaran utama dari para pendukung Politik Etis. Bagi mereka, desentralisasi diartikan sebagai desentralisasi dari Den Haag ke Batavia, dari Batavia ke daerah-daerah lain di Hindia Belanda, dan dari Belanda kepada bangsa Indonesia.

    Berbagai peraturan yang berkenaan dengan desentralisasi diundangkan antara tahun 1903 hingga 1905:
    1. Decentralisatie Wet (Undang-Undang Desentralisasi) tanggal 23 Juli 1903 yang dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie No. 329.
    2. Decentralisatie Besluit (Keputusan Pemerintahan tentang Desentralisasi) yang dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie Tahun 1905 No. 137.
    3. Locale Raden Ordonnantie (Ordonansi tentang Dewan-Dewan Lokal) yang dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie Tahun 1905 No. 181.
    Implementasi dari Ordonansi Dewan-Dewan Lokal adalah dengan pembentukan sejumlah gemeente (kotapraja) di kota-kota besar di Jawa. Sebuah gemeente diperintah oleh seorang walikota (burgemeester) yang dalam tugas-tugasnya didampingi oleh sebuah Dewan Kotapraja (Gemeente Raad).

    Yang patut disimak dalam gemeente ini adalah bahwa pembentukannya lebih dilandasi atas dasar besar-kecilnya jumlah warga penduduk bangsa Eropa yang bermukim di suatu tempat. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Batavia adalah kota pertama yang mendapat status wilayah kotapraja sebagaimana tercantum dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie Tahun 1905 No. 204, dan wilayah Meester-Cornelis (sekarang Jatinegara) menurut Staatsblad van Nederlandsch Indie Tahun 1905 No. 206. Kemudian Buitenzorg (sekarang Bogor) mendapat status kotapraja seperti dinyatakan dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie Tahun 1905 No. 208. Status kotapraja yang diberikan kepada Batavia, Meester-Cornelis, dan Buitenzorg dinyatakan mulai berlaku sejak 1 April 1905. Pada tahun-tahun selanjutnya, lima kota lain di Pulau Jawa yang mendapat status kotapraja adalah Semarang, Bandung, Sukabumi, Tegal, dan Surabaya.

    Sejak waktu itu, berbagai kota yang memiliki warga penduduk bangsa Eropa yang jumlahnya dianggap cukup signifikan memperoleh status gemeente (kotapraja). Pada tahun 1939 telah terbentuk 32 kotapraja, 19 diantaranya berada di Pulau Jawa. Tahun 1935, Gemeente Meester-Cornelis lalu digabungkan dengan Batavia, maka artinya untuk wilayah Keresidenan Batavia hanya ada satu kotapraja.

    DEWAN KOTAPRAJA (GEMEENTE RAAD)
    Dewan Kotapraja (Gemeente Raad) adalah badan perwakilan pada tingkat kota-praja yang anggota-anggotanya dipilih untuk masa kerja empat tahun. Menurut Kiesordonnantie (Ordonansi tentang Pemilihan) yang dikeluarkan 1 Januari 1908, mereka yang memiliki hak untuk memilih adalah laki-laki, kawula Belanda (Nederlandsch-onderdaan), berusia sekurang-kurang 21 tahun, dapat membaca-menulis bahasa Belanda (untuk pemilih bumiputra harus menguasai bahasa Melayu dan bahasa daerah tempat yang bersangkutan tinggal), berdomisili di kotapraja tersebut, dan membayar pajak pendapatan minimal sebesar 300 gulden per tahun. Syarat untuk menjadi anggota Dewan Kotapraja tidak jauh berbeda kecuali dari segi umur, yaitu harus minimal 25 tahun, dan penguasaan bahasa Belanda yang cukup.

    Melihat persyaratan tersebut di atas, baik untuk menjadi pemilih maupun calon anggota yang akan dipilih, dominasi penduduk warga Eropa dalam keanggotaan Dewan Kotapraja tampak jelas. Seperti terlihat pada keanggotaan Dewan Kotapraja Batavia dari tahun 1905 sampai 1929, ada 173 warga Eropa, 67 Bumiputra, dan 19 warga Cina, serta 10 Timur Asing yang umumnya adalah warga Arab.

    Anggota warga bumiputra yang peranannya menonjol dalam kegiatan Dewan Kotapraja Batavia adalah Mohammad Husni Thamrin yang menjadi anggota Dewan selama 1919-1927. Thamrin juga pernah menjadi anggota Badan Pekerja Harian dari Dewan Kotapraja yang disebut College van Burgemeester en Wethouders. Dewan-dewan daerah lainnya, seperti Dewan Kabupaten (Regentschapsraad) dan Dewan Provinsi (Provinciale Raad), dibentuk mengikuti adanya perubahan pemerintahan tahun 1922.

    DEWAN RAKYAT (VOLKSRAAD)
    Pembentukan Dewan Rakyat (Volksraad) pada tahun 1918, juga merupakan implementasi dari Undang-Undang Desentralisasi. Diskusi mengenai pembentukan Volksraad sudah mulai muncul sejak tahun 1915, bahkan dalam arena pergerakan kebangsaan Indonesia. Wacana tentang Volksraad berkaitan dengan adanya gerakan Indie Werbaar (Pertahanan Sipil Hindia).

    Pembentukan Indie Werbaar diprakarsai oleh Vaderlandsch Club, suatu organisasi politik dari kelompok penduduk Belanda yang bermukim di koloni Hindia Belanda. Melihat Perang Dunia I di daratan Eropa, mereka khawatir perang akan meluas ke wilayah jajahan. Untuk itu, dirasa perlu adanya gerakan membentuk pertahanan sipil untuk menjaga koloni di Hindia Belanda.

    Tanggapan positif dari kaum pergerakan kebangsaan Indonesia untuk turut serta dalam gerakan Indie Werbaar dapat dilihat dari sudut kesempatan untuk berpartisipasi dalam dewan semiparlemen buatan pemerintah kolonial itu. Keikutsertaan kaum pergerakan nasionalisme Indonesia akan membuat posisi tawar mereka cukup tinggi untuk dapat masuk dalam perwakilan rakyat (Volksraad).

    Sebaliknya warga golongan Timur Asing, terutama golongan Tionghoa, menolak keras untuk bergabung dalam kewajiban mempertahankan negeri Hindia Belanda melalui Indie Werbaar. Dalam hal ini, orang Cina mempertimbangkan keikutsertaan mereka dari sudut kedudukan status sipil warga Cina yang ambigu. Sebagai Vreemde Oosterlingen (Timur Asing), mereka dimasukkan dalam status sebagai kawula Belanda (Nederlandsch-onderdaan) yang disamakan dengan warga bumiputra (geleijkgesteld met de inlanders). Kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang di mata komunitas Tionghoa banyak melahirkan perlakuan diskriminatif mendasari penolakan mereka untuk bergabung dalam gerakan Indie Werbaar guna menjaga koloni ini dari serangan pihak luar.

    Di pihak lain, penolakan warga Tionghoa untuk turut membela negeri tempat mereka bermukim, oleh kaum pergerakan kebangsaan Indonesia, diartikan sebagai sikap oportunistis orang Cina. Oleh karenanya, sudah dapat dipastikan perbedaan sikap dari kedua komunitas tersebut menimbulkan friksi antara gerakan kebangsaan Indonesia dan gerakan kebangkitan Tionghoa.

    Perang Dunia I tidak meluas ke tanah jajahan. Volksraad secara resmi dibentuk pada 16 Desember 1916. Siding pertama Volksraad dibuka oleh Gubernur Jenderal J.P. Grraf van Limburg Stitum pada tanggal 18 Mei 1918.

    Anggota Volksraad terdiri dari mereka yang diangkat dan yang ditunjuk serta mereka yang dipilih berdasarkan pilihan mereka yang memiliki hak memilih (kiesrecht). Pada awal pembentukan Dewan Rakyat ini ada 19 anggota yang diangkat (5 diantaranya anggota Indonesia), dengan seorang ketua Dewan.

    Pemilihan anggota parlemen buatan pemerintah kolonial ini dilaksanakan melalui dewan-dewan lokal yang telah terlebih dahulu didirikan. Dewan-dewan lokal tersebut, baik Dewan Kabupaten (Regentschapsraad), maupun Dewan Kotapraja (Gemeente Raad), sampai Dewan Provinsi (Provinciale Raad), menjadi semacam badan pemilihan yang akan menetapkan wakil-wakil rakyat yang dipilih menurut daerah masing-masing.

    Pada tahun 1921, jumlah anggota Volksraad menjadi 49 orang, 39% dari mereka adalah orang Indonesia. Pada tahun 1927, anggota Volksraad bertambah menjadi 60 orang, dengan jumlah anggota Indonesia juga meningkat. Keseimbangan antara anggota Indonesia dan anggota Eropa (ditambah dengan anggota Timur Asing) akhirnya mencapai 50%, walaupun dewan-dewan pemilih masih saja dipenuhi oleh golongan konservatif.

    Anggota Volksraad bertugas selama satu periode persidangan, yaitu empat tahun. Persidangan diadakan di Batavia. Volksraad juga memiliki Badan Pekerja Harian (College van Gedelegeerden) yang beranggotakan lima belas orang dengan seorang ketua.

    Pada tahun 1925 diperkenalkan apa yang disebut staatsinrichting atau konstitusi bagi koloni Hindia Belanda, yang berdampak kepada berkurangnya peranan Dewan Hindia (Raad van Nederlandsch-Indie). Peranan Dewan Hindia lalu lebih sebagai dewan penasihat, sementara Volksraad mendapat kekuasaan legislatif yang terbatas.

    Dengan adanya Volksraad, maka masalah anggaran Hindia Belanda dan undang-undang yang menyangkut urusan dalam negeri dirancang, dibicarakan, dan diputuskan dalam persidangan dewan ini. Meskipun demikian, gubernur jenderal dan para kepala departemen tidak bertanggung jawab kepada Volksraad. Oleh karenanya, sekalipun merupakan badan semiparlemen di Hindia Belanda, Volksraad tidak memiliki kekuasaan untuk menggeser atau menyingkirkan para petinggi birokrasi kolonial. Ini artinya Volksraad tidak pernah menjadi parlemen atau dewan perwakilan rakyat yang sesungguhnya. Pembentukan Volksraad tidak lebih dari sebuah tanda pernyataan untuk menunjukkan bahwa penguasa kolonial memang membuka kesempatan bagi masyarakat di tanah jajahan untuk berpartisipasi dalam mengatur kehidupan mereka. Walaupun demikian, dalam perjalanan selanjutnya, Volksraad lebih sering terjebak dalam pertarungan politik kaum pergerakan nasionalis Indonesia.

    NB: Artikel ini sengaja ditulis ulang karena ditugaskan pada hari Selasa, 03 Februari 2015, dan pernah dicetak dalam buku Hindia Belanda.

    Hukum Meninggalkan Salah Satu Rukun Shalat

    Oleh Ustadz H.M. Rahmatullah, Lc.

    Jika seseorang meninggalkan salah satu rukun shalat dengan sengaja, maka batal shalatnya, karena ia sengaja meninggalkan rukun tersebut. Akan tetapi jika karena lupa maka ia harus mengulanginya. Sebagai contoh, bila ia lupa belum ruku', dia langsung sujud, kemudian baru ingat bahwa dirinya belum ruku', maka ia harus berdiri kemudian ruku', dan melanjutkan shalatnya.

    Ia wajib mengulangi rukun yang ia tinggalkan selama belum masuk pada posisi yang sama di rakaat kedua. Jika telah masuk pada posisi yang sama di rakaat kedua maka posisi rakaat kedua menggantikan rakaat yang ditinggalkan salah satu rukunnya. Seandainya ia belum ruku', namun ia sudah sujud dan sudah duduk di antara dua sujud serta sujud yang kedua, lantas baru teringat bahwa ia belum ruku', maka dalam keadaan seperti ini ia wajib berdiri, ruku' dan meneruskan shalatnya.

    Begitu juga jika seseorang lupa mengerjakan sujud kedua, dia langsung berdiri dari sujud pertama, ketika membaca Al-Fatihah ia baru teringat dirinya belum sujud kedua dan belum duduk di antara dua sujud, maka ia wajib kembali pada keadaan semula dan duduk di antara dua sujud, dan meneruskan shalatnya. Jika ia baru teringat setelah ruku' pada rakaat berikutnya, maka ia wajib turun untuk duduk, sujud dan meneruskan shalatnya. Adapun jika ia baru teringat belum melakukan sujud pada saat ia sudah duduk di antara dua sujud rakaat kedua, maka rakaat kedua ini menggantikan rakaat pertama, dan itu dihitung sebagai rakaat pertama.

    Dalam kondisi-kondisi atau contoh seperti di atas, seseorang diwajibkan melakukan sujud sahwi, jika karena kelebihan gerakan, maka sujud sahwi dilakukan setelah salam sebagaimana disebutkan dalam sunnah Rasulullah SAW.

    Wallahu a'lam bi al-shawab

    NB: Tulisan ini pernah dimuat dalam Buletin Mimbar Jum'at - Menggali Khazanah Islam - No. 09 Th. XXVI 18 Rabiul Akhir 1434 H - 1 Maret 2013 Jum'at I pada pertanyaan dari Zaenal (Cipinang).

    Teori Receptio in Complexu Versus Teori Receptie

    Oleh Dr. Sudirman Abbas

    PENDAHULUAN

    Dalam sejarah hukum di Indonesia, banyak literatur menyebutkan bahwa pada mulanya sebelum Belanda datang ke negeri ini sebagai penjajah dalam bidang perdagangan, pada mulanya dan akhirnya menjadi penjajah secara menyeluruh dan berkuasa, yang berlaku adalah hukum Islam yang berjalan dalam adat dan kebiasaan masyarakat waktu itu. Hal ini bisa dilihat dalam penjelasan Daniel S. Lev yang menjelaskan bahwa Pengadilan Agama (Islam) sudah ada pada setiap kabupaten di pulau Jawa pada abad ke-16 (1980: 25). Pengadilan semacam juga sudah ada pada masa Pangeran Dipati Anta Koesoema di Kuala Kapuas sekitar tahun 1638, yang tentu menerapkan hukum Islam dalam proses peradilannya. (Asshiddiqie, 1990: 9)

    Namun pada perkembangan sejarah selanjutnya, ada satu pemikiran baru yang dikembangkan oleh politik hukum penjajah Belanda yang pada mulanya ingin memberlakukan hukum Barat untuk seluruh golongan penduduk sebagai upaya unifikasi hukum. Pemikiran ini ditentang oleh Snouck Hurgronje, dan selanjutnya dikembangkan oleh Van Vollenhoven yang menyatakan bahwa tidak perlu lagi mengajukan hukum Barat sebagai solusi unifikasi, sebab di Indonesia ini sudah hukum adat yang berkembang dan berlaku dalam kehidupan masyarakatnya. Bahkan Van Vollenhoven membantah keras bahwa orang pribumi hidup tanpa hukum, mereka justeru secara sungguh-sungguh memberi perhatian pada adat, hukum adat, dan kebutuhan hukum rakyat (Soetandyo, 1995: 127) dan usaha-usaha Hoven ini digulirkan pada setiap amandemen termasuk yang disebut dengan amandemen Van Idsinga.

    Adanya pihak-pihak yang mengemukakan bahwa hukum Islam-lah yang berlaku dalam masyarakat dan bukan hukum adat. Sebab istilah hukum adat waktu itu tidak ada, yang ada hanyalah adat kebiasaan. Teori ini pada masa kemudian disebut dengan istilah teori Receptio In Complexu. Sedang kebalikan dari teori ini adalah teori Receptie yang menganggap hukum adat sebagai hukum pribumi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat waktu itu.

    Dalam makalah ini akan dicoba diulas argumentasi masing-masing teori tersebut berikut latar belakangnya dengan harapan akan jelas duduk persoalan yang sebenarnya.

    MENGULAS TEORI RECEPTIO IN COMPLEXU

    Sayuti Thalib (1985: 4) mengemukakan bahwa justeru ahli-ahli hukum dan ahli-ahli kebudayaan Belanda sendirilah yang mengakui bahwa jauh-jauh sebelum tahun 1800 dan tahun sesudahnya, hukum Islam-lah yang berlaku di Indonesia. Sayuti menunjukkan beberapa sarjana Belanda yang mengakui kenyataan ini, dan mereka menyebut itu dengan masa Receptio In Complexu. Mereka itu antara lain Carel Frederick Winter, seorang ahli mengenai Jawa yang lahir dan meninggal di Yogyakarta (1799-1859). Salamon Keizer, seorang guru bahasa dan budaya Indonesia yang juga banyak menulis tentang Islam di Jawa dan menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Belanda, beliau hidup sekitar 1823-1868. Kemudian ada Prof. Mr. Lodewijk Willem Christian Van Den Berg (1845-1927), yang sempat menulis asas-asas hukum Islam (Mohammedaansch Recht) menurut ajaran Hanafi dan Syafi’i. Dalam buku ini dijelaskan bahwa hukum Islam diperlukan bagi orang-orang Islam bumiputera walaupun dengan sedikit penyimpangan (Ramulyo, 1995: 54). Selain mereka ada nama lain yang juga menganut paham Receptio In Complexu ini seperti Clootwijk (1752-1755) dan Freijer (1760). (Asshiddiqie, 1990: 10)

    Bahkan Ramulyo (1995: 53-54) dalam bukunya memberikan paparan periodesasi tentang pelaksanaan hukum Islam sebelum Belanda datang di Indonesia dengan tiga periode, yaitu:
    1. Periode Tahkim, di mana apabila terjadi perbenturan antara hak-hak dan kepentingan, mereka bertahkim kepada seorang pemuka agama yang ada di tengah kelompok mereka, seperti seorang wanita bertahkim kepada seorang penghulu sebagai wali yang berhak menikahkannya dengan pria idamannya.
    2. Periode Ahlul Hilli wal Aqdi, di mana mereka telah membai’at dan mengangkat seorang ulama Islam sebagai qadhi untuk menyelesaikan masalah mereka. Jadi, qadhi bertindak sebagai hakim.
    3. Periode Tauliyah, yang menurutnya periode ini sudah terpengaruh oleh ajaran Trias Politica Montesquieau, di mana sudah ada pendelegasian wewenang (delegation of authority) untuk mengadili kepada lembaga judicative, seperti di Minangkabau, ada pucuk nagari yang menyelesaikan sengketa dan qadhi yang menyelesaikan masalah keagamaan.
    Ramulyo mengemukakan bukti periodesasi ini dengan adanya kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam di daerah-daerah Cirebon, Gowa, Semarang, Makasar, Bone, dan Papakem Cirebon. (Ramulyo, 1995: 54)

    Sementara itu, Jimly Assiddiqie (1950: 9) mengungkapkan bahwa hukum Islam-lah yang berlaku di Indonesia ini bersama adat kebiasaan masyarakat setempat. Bahkan, dengan keunggulan gagasan sistem hukum Islam yang ditawarkan lebih mengundang rasa simpatik dalam banyak hal daripada hukum adat.

    Dalam konteks kesejarahan hukum Islam, zaman kerajaan Islam Perlak dan Pasai di Aceh juga terungkap bahwa yang berlaku di sana waktu itu adalah hukum Islam dalam madzhab Syafi’i. Demikian juga ketika zaman Sultan Agung, raja kerajaan Mataram Islam, hukum Islam juga sudah berjalan secara formal di mana di tiap kadipaten selalu ada pengadilan serambi, yaitu pengadilan agama yang diberikan sendiri tauliyah atau wewenangnya oleh Sultan Agung, dan pelaksanaan peradilan tersebut berada di serambi masjid. (Lihat dua makalah terdahulu)

    Perkembangan diakuinya teori receptio in complexu ini secara legal formal, bisa dilihat dalam Regeerings Reglement (Staatsblad 1884 No. 129 di negeri Belanda jo. Stbl. 1885 No. 2 di Indonesia), terutama diatur dalam pasal 75 dan pasal 78 jo. pasal 109 RR tersebut.

    Pasal 75 ayat (3) RR tersebut mengatur bahasanya “Apabila terjadi sengketa perdata antara orang-orang Indonesia yang beragama Islam oleh hakim Indonesia haruslah diberlakukan hukum Islam Gonsdienstig Wetten dan kebiasaan mereka”.

    Sedang dalam ayat (4) pasal tersebut, disebutkan “Undang-undang agama, adat, dan kebiasaan itu juga dipakai untuk mereka oleh hakim Eropa pada pengadilan yang Huger Beroep, bahwa dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia atau mereka yang dipersamakan dengan orang Indonesia, maka mereka tunduk kepada keputusan hakim agama atau kepala masyarakat mereka menurut undang-undang agama atau ketentuan lama mereka”.

    Menurut pasa 109 RR ditentukan pula, “Ketentuan seperti tersebut dalam pasal 75 dan pasal 78 itu berlaku juga bagi mereka yang dipersamakan dengan orang-orang Indonesia, yaitu orang-orang Arab, Moor, Cina, dan semua mereka yang beragama Islam, maupun orang-orang yang tidak beragama”.

    Sementara itu dalam pasal 7 Rechterlijke Organisatie ditetapkan bahwasanya “Sidang-sidang pengadilan negeri (Landraad) harus dihadiri oleh seorang fungsionaris yang mengetahui seluk beluk agama Islam, kalau yang dihadapkan itu tidak beragama Islam, maka penasehat itu adalah kepala masyarakat dari orang itu”. (Ramulyo, 1955: 55)

    Dari semua ketentuan ini diketahui bahwa sejak pemerintahan Belanda pertama, hukum Islam sudah diakui eksistensinya sebagai hukum positif yang berlaku bagi orang Indonesia. Dalam hal ini, hukum Islam ditulis sejajar dan satu nafas dengan hukum adat, bahkan sejak zaman VOC pun keadaan ini juga tetap berlangsung seperti yang dikenal dalam Compendium Freijer. (Daud Ali, 1982: 101)

    Jimly Assiddiqie (1990: 10) dalam menjelaskan pasal di atas menyebut bahwa hukum agama Islam tersebut pun harus dipakai oleh para hakim Belanda, jika perkara tersebut dibawa ke tingkat banding (Huger Beroep).

    Dari seluruh fakta yang ada, maka tidak terlalu salah jika akhirnya orang-orang Belanda mengakui keberlakuan hukum Islam di Indonesia secara historis dan legal formal, termasuk di dalamnya L.W.C. Van Den Berg yang juga sempat menerjemahkan kitab Fathul Qarib dan Minhajul At-Talibin ke dalam bahasa Perancis. Bahkan beliau sendirilah yang dengan tegas menerima secara keseluruhan hukum Islam sebagau hukum yang berlaku di Indonesia. Akhirnya sikap beliau ini menjadi satu aliran tersendiri yang berkembang dengan sebutan receptio in complexu, yang dinamakan sendiri sebagai sebuah teori oleh pengembangnya, yaitu L.W.C. Van Den Berg. (Tahlib, 1985: 5-6) 

    MENGULAS TEORI RECEPTIE 

    Teori ini merupakan kebalikan dari teori receptio in complexu di atas. Hal ini bermula dari penentangan C. Snouck Hurgronje terhadap teori receptio in complexu yang dikembangkan oleh Van Den Berg, yang kemudian teori ini dikenal dengan istilah teori receptie. Penganut teori ini mengemukakan bahwa sebenarnya yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat asli, dan ke dalam hukum adat ini memang telah masuk pengaruh hukum Islam, kekuatan hukum Islam ini baru bisa dianggap dan diakui kalau sudah diterima oleh hukum adat. Maka lahirlah dari sini hukum adat bukan hukum Islam. (Tahlib, 1985: 13)

    Di samping itu, latar belakang penentangan ini ialah adanya usaha penjajah Belanda yang sudah mulai kuat dominasi kekuasaannya di Indonesia untuk memberlakukan hukum Barat sebagai suatu langkah unifikasi. Dan dari sinilah C. Snouck Hurgronje (1857-1936) memulai penentangannya. Di samping itu, Cornelis Van Vollenhoven (1874-1933) mendukung pertentangan ini dengan kemasan ilmiah melalui serangan dan kritikan terhadap pasal-pasal yang dikemukakan di atas. Seiring dengan itu, Van Vollenhoven juga menentang penggantian hukum adat dengan hukum Barat yang diadakan oleh pemerintah penjajah dalam rangka melindungi tujuan dan kepentingan pengkristenan penduduk Indonesia. (Arifin, Tanpa Tahun: 5; Soepomo, 1977: 10)

    Memang Van Vollenhoven-lah yang pertama kali menetapkan adanya hukum adat yang berlaku dan berkembang di Indonesia, dalam bukunya yang dikenal dengan “penemuan hukum adat” (Het Ontdekking Van Het Adatrecht). Hukum adat ini menurutnya suatu sistem hukum yang sudah ada dan berkembang di Indonesia, maka tidak layaklah kalau Belanda memaksakan hukum Barat bagi warga Indonesia. Namun, menurut Aqib Sumanto sebagaimana dikutip oleh Bustanul Arifin dalam makalahnya (Tanpa Tahun: 6) bahwa sebenarnya bukanlah Van Vollenhoven tidak setuju diberlakukannya hukum Barat, tetapi ada suatu keyakinan bahwa kalau hukum Barat (Belanda) dipaksakan berlaku, maka hukum Islam justeru akan makin berkembang. Jadi, ada kesengajaan hukum Islam akan dipertentangkan dengan adat atau hukum adat lokal dan bukan dengan hukum Barat. Politik hukum semacam ini hingga sekarang masih terasa membekas pada pakar-pakar hukum kita di saat akan menyusun hukum Nasional sekarang ini.

    Usaha mempertentangkan hukum Islam dan hukum adat ini ditunjukkan oleh Snouck Hurgronje, dalam rangka menaklukkan Aceh dengan cara menunjukkan celah serta memanipulasi adanya pertentangan kesetiaan masyarakat Aceh kepada agama yang diwakili oleh ulama dan kesetiaan mereka kepada adat yang diwakili oleh uleu-balang. Di samping itu, Snouck Hurgronje juga mengatakan bahwa hukum adat itu harus dibedakan dengan kebiasaan (adat kebiasaan), sebab hukum adat itu mempunyai akibat hukum, sedang adat kebiasaan tidak. (Thalib, 1985: 11-12)

    Tapi usaha Snouck Hurgronje ini gagal, sebab pada kenyataannya masyarakat Aceh tidak terpecah kesetiaannya antara adat dan agama. Hal ini dibuktikan dengan adanya rasa tidak aman bagi pasukan Belanda di Aceh yang terus berlangsung.

    Pada kurun terakhir, hukum adat ini juga dikembangkan oleh James Richardson Logan tahun 1850. Beliau sebagaimana Snouck, membedakan antara hukum adat dengan adat, meski keduanya tidak bisa dipisahkan. Bahkan beliau menambahkan kata “Indonesia” setelah hukum adat, untuk membedakan dengan hukum adat lain yang berkembang di Asia. Hukum adat baginya lebih luwes karena tidak tertulis. Berbeda dengan hukum yang tertulis, sehingga sulit diubah. Makna hukum dalam “Hukum Adat” lebih luas daripada hukum-hukum yang lain karena juga menyangkut etika, pangkat, pakaian, pertunangan, dan sebagainya. (Djamali, 1993: 70-71)

    Barangkali memang kepastian hukum tentang hak, kewajiban, dan sanksi atas suatu pelanggaran dapat dicakup dalam hukum adat yang berisi muatan perintah, larangan, dan kebolehan. Tapi yang menjadi masalah adalah kapan sebenarnya adat istiadat itu bisa menjadi hukum ? Dalam menjelaskan masalah ini, Van Vollenhoven selaku bapak hukum adat Indonesia memberi suatu penjelasan bahwa apabila seorang hakim menghadapi kenyataan bahwa ada peraturan tingkah laku yang oleh masyarakat dianggap patut berlaku dan dipertahankan serta sesuai perasaan umum, dan peraturan itupun dipertahankan oleh kepala adat dan petugas hukum lainnya, maka peraturan adat tadi bersifat hukum. (Soekanto, 1983: 98-99)

    Nampaknya secara legal formal, usaha mereka (para pengembang hukum adat) telah berhasil dengan adanya perubahan secara sistematika Regeerings Reglement Stbl. 1885 No. 2 menjadi Wet op de Staats Inrichting Van Nederlands Indie atau Indische Staatsregeling atau I.S. pada tahun 1925 (Stbl. 1925 No. 416) 
    seterusnya dengan Stbl. 1929 No. 221, di mana dinyatakan bahwa hukum Islam tidak lagi mempunyai kedudukan yang tersendiri. Hukum Islam bisa dianggap sebagai hukum setelah memenuhi dua syarat, yaitu:
    1. Norma hukum Islam harus diterima lebih dahulu oleh hukum adat.
    2. Kalaupun sudah diterima oleh hukum adat, juga tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan Belanda.
    Oleh karena itu, tidak ayal lagi teori receptie ini oleh Prof. Dr. Hazairin dianggap sebagai teori Iblis. (Ramulyo, 1995: 56-57)

    Barangkali karena adanya unsur pemaksaan penundukan (sujud) hukum yang sudah benar dan benar-benar berlaku kepada hukum rekayasa Belanda.

    Masih dari Ramulyo, dengan adanya perubahan di atas, Belanda pun mengeluarkan Stbl. 1937 No. 116 yang membatasi wewenang dan tugas peradilan agama, yang semula berhak menetapkan hal waris, hadlanah, dan sebagainya. Sedang wewenang yang diberikan hanya berkisar masalah nikah, talak, dan rujuk saja. Dengan demikian menurut Sayuti Thalib (1985: 2), penjajah Belanda berhasil menghapus hukum Islam dari sistem dan lingkungan tata hukum Hindia Belanda dengan menumpangkannya kepada hukum adat. Untuk sementara itu, teori receptie bisa dianggap sukses.

    Lalu bagaimana sebenarnya sikap kesetiaan bangsa Indonesia terhadap Islam (hukum Islam). Apabila seseorang telah masuk Islam, maka ia akan menerima Islam itu secara keseluruhan termasuk di dalamnya hukum Islam. Sebagai bukti, pemerintah Belanda sendiri pada abad 18 berusaha menyusun buku-buku hukum Islam yang dikenal dengan sebutan compendium, untuk pegangan para hakim pengadilan dan para pejabat pemerintahan. Lihat umpamanya compendium Van Clootwijk, gubernur Sulawesi saat itu (1752-1755) dan compendium Freijer yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Jacob Mossel (1750-1761). (Arifin, Tanpa Tahun: 5)

    Maka bukankah hal ini cukup menujukkan kondisi yang sebenarnya tentang keberadaan hukum Islam dan kesetiaan penganutnya yang mayoritas Muslim.

    Bahkan dalam sistem hukum Islam sendiri tidak dikenal adanya pertentangan dengan adat istiadat. Hal ini mungkin karena adanya doktrin “Al-‘Adatu Muhakkamah” dalam Islam, di mana adat tidak dipahami sebagai sesuatu yang terpisah dari hukum, dan adat tersebut dalam ushul fiqh juga dianggap sebagai selama ia tidak bertentangan dengan syari’at. (Assiddiqie, 1990: 9)

    Kemudian, sebelum datangnya bangsa Barat, kebiasaan lokal itu hanya disebut dengan adat atau adat istiadat dan bukan hukum adat, yang artinya keduanya memang tidak diperhadapkan satu sama lain. Adanya istilah “Hukum Adat” itu adalah buatan Belanda yang menurut Van Vollenhoven adalah “penemuan” hukum adat. Padahal bangsa Indonesia sendiri waktu itu tidak mengenal istilah tersebut. Tapi yang mereka tahu adalah adat/adat istiadat saja tanpa “embel-embel” hukum di depannya. Hal ini sesuai dengan doktrin Islam, bahwa hukum adat itu juga diperlakukan sebagai bagian dari hukum, sehingga adat tidak berdiri sendiri sebagai hukum. Dan di Barat sendiri pun, masalah “Customary Rules” dikaji sebagai bagian dari studi mengenai kebudayaan hukum yang merupakan penunjang ilmu hukum, maka usaha Belanda untuk menonjolkan issue “adat” versus “hukum Islam” di Indonesia, adat istiadat lokal masyarakat nusantara dikaji secara tersendiri dan terpisah dengan istilah “hukum adat/adatrecht”. (Assiddiqie, 1990: 9-10; Arifin, Tanpa Tahun: 6) 

    APA PULA RECEPTIO A CONTRARIO ITU ?

    Dalam membahas sub tema ini, hanya akan diurai secara sekilas dan bersifat pengantar pengenalan saja. Karena receptio a contrario ini merupakan teori yang mengakhiri pertentangan dua teori sebelumnya, meski masih saja ada pihak-pihak yang masih mempertahankan teori sebelumnya (teori receptie), hal ini mungkin karena sudah terlalu berpengaruhnya ekses-ekses politik hukum yang dilancarkan Belanda dulu.

    Teori receptio a contrario ini nampaknya dikembangkan oleh Prof. Dr. Hazairin SH. dan secara khusus juga dikembangkan oleh Sayuti Thalib SH. di mana beliau menulis sebuah buku dengan judul yang sama. Teori ini dimajukan karena kemerdekaan Indonesia telah berhasil diproklamirkan yang tentunya berkonsekuensi adanya perubahan undang-undang dari peninggalan Belanda. Di samping itu karena adanya alasan eksistensi hukum Islam di bumi Nusantara ini dalam fakta sejarah sebagaimana diulas di atas, dan anggapan tidak benar kalau hukum Islam itu harus direcipeer lebih dahulu oleh hukum adat.

    Dalam teori ini dikembangkan pemikiran, bahwa setelah Indonesia merdeka maka secara otomatis teori receptie yang dikembangkan oleh politik penjajah Belanda itu dianggap telah mati dan menemui ajalnya. Dengan demikian undang-undang tentangnya yaitu pasal 134 ayat (2) Indische Staatsregeling, yang berlaku sejak 1929 pun dianggap tidak berlaku lagi karena sudah terhapus oleh hukum yang berkembang dalam jiwa masyarakat yang tertuang dalam jiwa pembukaan UUD 1945, pasal 29 UUD tersebut. (Thalib, 1985: 62)

    Jadi, pada prinsipnya dalam teori receptio a contrario ini menguatkan kembali keberadaan teori pertama, yaitu teori receptio a contrario di masa kemerdekaan di mana hukum Islam bisa berlaku tanpa harus melalui perantara hukum adat lagi. Untuk hal ini bisa dilihat dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, yang disebutkan bahwa perkawinan baru sah bila dilakukan menurut hukum agama, tanpa ada sebutan hukum adat. Bahkan dalam penjelasannya jo. pasal 37 disebutkan bahwa hukum adat dapat saja dipergunakan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum agama, yang artinya tentu hukum adat-lah yang direcipeer ke dalam hukum agama (Islam). (Assiddiqie, 1990: 12)

    Meski demikian, menurut Sayuti Thalib (1985: 63) masih saja ada yang ingin menggagalkan teori ini dengan mengalahkan UUD 1945 dan mempertahankan pasal 134 ayat (2) IS. 

    PENUTUP

    Demikian makalah sederhana ini dibuat untuk didiskusikan bersama yang tentunya karena dalam makalah ini masih banyak hal yang perlu dikaji ulang. Ada sebuah harapan tentunya semua akan bersepakat, yaitu keberhasilan yang menyelamatkan, isn’t it !? 

    DAFTAR PUSTAKA

    Ali, H.M. Daud, Kedudukan Hukum Islam dalam Kerangka Hukum Indonesia, dalam Majalah Hukum Indonesia dan Pembangunan, Tahun ke XII No. 2, Jakarta, 1982.
    Arifin, Bustanul, “Aspek Hukum Islam” dalam Perundang-Undangan Indonesia, Makalah di Fakultas Syari’ah Serang, tt.
    Assiddiqie, Jimly, Hukum Islam di Indonesia: Dilema Legislasi Hukum Agama di Negara Pancasila, dalam Majalah Pesantren No. 2/Vol. VII/1990, 1990.
    Djamali, R. Abdoel, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993.
    Ramulyo, Moh. Idris, Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1995.
    S. Lev, Daniel, Islamic Court in Indonesia, Terjemahan oleh Z.A. Noeh, 1980, Peradilan Agama Islam di Indonesia, Jakarta: Intermasa, tt.
    Soekanto, Soerjono, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1983.
    Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1977.
    Thalib, Sayuti, Receptio A Contrario, Jakarta: Bina Aksara, 1985.
    Wignjosubroto, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.

    Diketik oleh Moh. Hibatul Wafi penyajian makalah tahun 2012

    Hukum Pidana (KUHP) dalam Perspektif Hukum Islam

    Oleh Dr. Sudirman Abbas

    MUKADDIMAH

    Studi hukum di Indonesia mengalami pasang surut sesuai dengan fluktuasi keberlakuan politik hukum yang dijalankan negara, perkembangan sosial kemasyarakatan dan interaksi masyarakat dengan keputusan politik negara. KUHP sebagai produk hukum pidana di Indonesia yang diberlakukan sejak masa kolonial Belanda dan dipertahankan sampai sekarang, merupakan hasil politik hukum Belanda dengan berbagai teori hukum yang berlaku di Indonesia. KUHP yang secara substansial diadopsi dari Code Civil Perancis (Napoleon Bonaparte) telah mereduksi dan memarginalkan hukum Islam baik secara substansial maupun keberlakuan di dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

    Sebagai sebuah perundang-undangan, KUHP mengalami kekakuan dalam pemberlakuannya di masyarakat. Secara teoritik, sebuah perundang-undangan akan berlaku dengan baik dan sukses hanya jika sesuai dengan keyakinan internal suatu bangsa kepada siapa perundang-undangan itu diperuntukkan. Jika melenceng dari itu, maka akan mengalami kegagalan. Untuk mencapai tujuan hukum diberlakukannya KUHP, maka pemerintah Indonesia melakukan serangkaian pemaknaan yang sesuai dengan cita hukum, yaitu kesejahteraan dan ketertiban umum. Proses pemaknaan tersebut, mengacu pada religiusitas dan semangat nasionalis hukum Indonesia.

    Dari pemikiran tersebut, makalah ini hendak mengkaji KUHP dalam perspektif hukum Islam dengan pendekatan normatif-ideologis melalui kerangka deskriptif-interpretatif. Pengkajian KUHP ini hanya dibatasi pada sistematika, tujuan, kategorisasi hukuman kualitatif dan kuantitatif, asas-asas hukum, material hukum, dan sumber-sumber hukum. Dengan pembatasan ini, diasumsikan telah memenuhi representasi KUHP. Karena beberapa angel tersebut dipandang sebagai indikator yang secara ilmiah mencakup isi KUHP. Untuk mendapatkan kesimpulan yang diharapkan, studi ini menekankan pada pengujian secara komparatif antara KUHP sebagai produk hukum dengan term-term hukum Pidana Islam (Al-Jinayah).

    KUHP DALAM SOROTAN

    Dalam terminologi hukum, hukum pidana dirumuskan sebagai “hukum tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan”. Dalam merumuskan kepentingan umum termasuk di dalamnya kepentingan Badan dan peraturan perundangan negara dan kepentingan umum setiap manusia, yang meliputi kepentingan:
    1. Penyelamatan terhadap jiwa, seperti pembunuhan.
    2. Penyelamatan terhadap tubuh, seperti penganiayaan.
    3. Penyelamatan terhadap kemerdekaan, seperti penculikan.
    4. Penyelamatan terhadap kehormatan, seperti penghinaan.
    5. Penyelamatan terhadap hak milik, seperti pencurian.
    Dalam menganalisis lima masalah pokok yang menjadi standar kejahatan yang bisa mengakibatkan hukuman sesuai dengan kepentingan dalam kerangka hukum Islam, yakni melindungi 5 hal pokok yang disebut dengan “Al-Ushul Al-Khamsah Al-Dlaruriyah”. Dalam khazanah hukum Islam, hukum diarahkan pada proses terealisasinya lima kepentingan pokok, yaitu kepentingan agama, jiwa, harta benda, akal, dan keturunan. Jadi, setiap kejahatan yang menghalangi terciptanya lima hal tersebut harus dihindari.

    TUJUAN HUKUM

    Apabila ditilik dari tujuan hukum pidana menurut Abdul Djamali  bahwa secara konkrit tujuan hukum pidana ada dua hal pokok, yaitu:
    1. Untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik. Ini mengandung arti pencegahan terhadap gejala-gejala sosial yang tidak baik dan kurang sehat.
    2. Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan tidak baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkungannya. Ini dimaksudkan sebagai terapi bagi orang yang terlanjur berbuat kejahatan.
    Dalam menanggapi tujuan hukuman tersebut, ada beberapa teori yang digunakan dalam diskursus hukum, yakni:
    1. Teori Mutlak (teori pembalasan), bahwa hukuman dilakukan dan diberlakukan kepada seseorang karena dia melakukan kejahatan, jadi hukuman itu secara mutlak diarahkan sebagai balasan terhadap apa yang dilakukannya, teori ini berdasar pada rasa keadilan, adalah adil jika hukuman diberikan secara setimpal. Dalam teori ini, hukuman harus dinggap sebagai pembalasan. Pembalasan terhadap penjahat adalah keharusan dari kesusilaan. Pendukung dari teori ini, antara lain Immanuel Kant, Hegel, Herbaat, dan Stahl.
    2. Teori Relatif, seorang filosof besar Plato mengatakan bahwa pada hakekatnya hukuman bermaksud memperbaiki si penjahat, tetapi pihak lain mengatakan bahwa tujuan hukuman adalah alat untuk menakut-nakuti publik agar tidak melakukan kejahatan dan pelanggaran.  Hukuman yang dilakukan mengandung implikasi sebagai alat untuk menakut-nakuti yang ditujukan kepada masyarakat umum (Algemene Preventief) maupun masyarakat khusus (Speciale Preventief), sehingga pelaksanaan hukuman dilakukan di depan publik. Dalam perkembangan selanjutnya, teori relatif modern menyatakan bahwa tujuan hukuman adalah untuk menjamin ketertiban umum.
    Tujuan pokok penjatuhan hukuman dalam syari’at Islam ialah pencegahan (Al-Raddu Wa Al-Zajru) dan pengajaran serta pendidikan (Al-Ishlah Wa Al-Tahdzib). Pengertian pencegahan adalah menahan pembuat agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya, di samping pencegahan terhadap orang lain agar tidak melakukan perbuatan serupa. Dengan demikian, maka penggunaan hukuman sebagai instrumen pencegahan mempunyai tujuan ganda. Pertama, diarahkan pada pribadi pembuat jarimah agar terjadi preventifikasi personal untuk tidak mengulangi. Kedua, memperlihatkan kepada publik dengan tujuan agar mereka tidak akan melakukan perbuatan tersebut. Dalam terminologi, hukum Islam disebutkan bahwa hukuman-hukuman yang diberlakukan merupakan hukum Muayyidat atau Al-Hamiyah sebagai penjaga agar hukum yang pokok Al-Ashliyat, yaitu terjaganya aspek-aspek lima yang pokok dan dijalankannya kewajiban-kewajiban agama terealisasi dengan baik.

    Dari paragraf di atas, kita bisa menganalisis bahwa tujuan diberlakukannya hukuman bersifat universal. Baik paradigma teologis Islam maupun kerangka para ahli hukum dengan beberapa pendekatan yang digunakannya mengkonstruksikan bahwa hukuman diarahkan pada proses pencegahan dan menakut-nakuti untuk tidak berlaku kejahatan dan pelanggaran terhadap larangan, maupun meninggalkan kewajiban. Pada akhirnya, hukuman ditujukan untuk membentuk tatanan sosial yang dinamis, saling menghormati hak dan kewajiban antara individu, dan mencintai sebagai manusia karena kemanusiaannya. 
    MATERIAL HUKUM

    Dalam KUHP yang berlaku di Indonesia, tindakan-tindakan yang melanggar hukum terbagi menjadi dua, yaitu:
    1. Kejahatan yang terbagi menjadi 31 titel, memuat kurang lebih 400 pasal tentang perbuatan-perbuatan yang dinamakan “kejahatan”, diantaranya terdapat titel-titel yang penting, antara lain:
    • Kejahatan terhadap keselamatan negara, kepentingan negara, pengkhianatan, dan pemberontakan.
    • Kejahatan terhadap pelaksanaan kewajiban-kewajiban dan hak-hak kenegaraan.
    • Kejahatan terhadap ketertiban umum.
    • Kejahatan terhadap kesusilaan, perjudian, dan pencabulan.
    • Kejahatan terhadap penculikan, penganiayaan, pemerasan, penggelapan, dan penghinaan.
    • Kejahatan terhadap jiwa orang.
    2. Dalam sistematika selanjutnya, dikategorisasikan sebagai perilaku pelanggaran yang terdiri dari 10 titel yang secara garis besar sebagai berikut:
    • Pelanggaran terhadap umum, seperti membahayakan keselamatan umum dan kenakalan terhadap manusia.
    • Pelanggaran terhadap ketertiban umum.
    • Pelanggaran terhadap kesusilaan.
    • Pelanggaran terhadap keamanan negara.
    Dalam sistematika yang diungkapkan di atas, apabila kita komparasikan dengan sistematika hukum Islam, ada beberapa kategorisasi Jarimah Hudud, yang meliputi jarimah pembunuhan, jarimah zina, jarimah pencurian, jarimah hirabah, jarimah riddah, jarimah bughot, jarimah qadzaf, dan jarimah meminum-minuman keras.  Dari dua sistematika tersebut, ada kesamaan pengkategorisasian antara KUHP dengan Hukum Islam. (Baca: Fiqh Islam)

    Dari beberapa materi KUHP, yang menarik untuk dikaji adalah kadar dan bobot sanksi hukum yang diberlakukan terhadap kejahatan-kejahatan maupun pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengan hukum Islam yang sementara ini keberlakuannya dijadikan indikator berlakunya Hukum Pidana Islam dalam suatu negara. Dalam konstalasi hukum pidana positif Indonesia, bahwa sistem hukuman dicantumkan dalam pasal 10 KUHP, bahwa hukuman yang dikenakan pada pelaku tindak pidana terdiri dari:
    1. Hukuman Pokok (Hoofd Straffen), terdiri dari:
    • Hukuman mati.
    • Hukuman penjara.
    • Hukuman kurungan.
    • Hukuman denda.
    2. Hukuman Tambahan (Bijkomende Straffen), terdiri dari:
    • Pencabutan beberapa hak.
    • Perampasan barang-barang tertentu.
    • Pengumuman putusan hakim.
    Dalam wacana hukum pidana Islam, sistematika tersebut sudah menjadi kerangka yang baku. Hukuman pokok disebut sebagai ‘uqubah ashliyah, berupa hukuman qishash untuk jarimah pembunuhan atau potong tangan untuk jarimah pencurian. Hukuman pengganti (‘uqubah badaliyah), apabila hukuman pokok tidak bisa dilaksanakan, maka ada hukuman pengganti, seperti adanya diyat sebagai pengganti qishash. Hukuman tambahan (‘uqubah tabi’iyyah), seperti larangan menerima warisan bagi orang yang membunuh keluarga.
    Dari dua sistematika hukuman, ada kemiripan kategoris bahwa hukuman yang dikenakan harus melalui tahapan pelaksanaan hukuman pokok terlebih dahulu, baru melakukan sistematisasi pada peringkat di bawahnya.

    Ada hal menarik dalam kajian ini, jika kita melakukan komparasi pada standar hukuman maupun jenis hukuman yang diberlakukan dalam hukum pidana positif dengan hukum pidana Islam. Penulis ambil contoh, bahwa hukuman mati, jilid, dan ranjam dalam pidana Islam masih dinggap sebagai jenis hukuman yang dianggap sudah tidak efektif dan lebih jauh bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, yang sekarang menjadi mainstream dunia.

    Sejak hukum pidana berlaku di Indonesia dan dicantumkan dalam Wetboek Van Strafrecht, tujuan diadakannya hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan akan ketenteraman umum. Hukuman mati di Indonesia menjadi bahan polemik antar akar hukum dan pejuang hak asasi manusia, sebagian berargumentasi bahwa hukuman mati yang terdapat dalam KUHP sebagai produk kolonial Belanda harus dihapus karena di negara Belanda sendiri hukuman mati sudah dihapus sejak tahun 1870.

    Polemik antara yang setuju dengan yang tidak setuju adanya hukuman mati terus berlanjut, tetapi kita bisa menganalisis secara obyektif bahwa hukuman mati dikenakan kepada kejahatan yang kualitasnya sangat membahayakan.  Dalam hukum pidana Islam, hukuman mati tidak bisa dilaksanakan dengan semena-mena, ada hukum acara yang mengatur secara ketat. Dalam pidana Islam, hukuman mati tidak menjadi harga mati tetapi ada solusi hukum yang sangat efektif, yaitu adanya pembatalan hukuman mati jika keluarga korban memaafkannya  dan diganti dengan denda harta (diyat).

    Dalam melihat sanksi pidana mati antara hukum positif dengan hukum pidana Islam, ada perbedaan pada jenis hukuman dan keberadaan keluarga korban. Dalam hukum pidana positif tidak dikenal adanya hukuman setimpal (qishash), juga dalam sanksi pidana mati digantikan dengan denda (diyat). Dalam hukum Islam, jika sanksi pidana mati tidak dilaksanakan karena pihak keluarga korban memaafkan pelaku pembunuhan, maka sanksinya diganti dengan diyat, tetapi dalam hukum pidana positif hukuman penggantinya dengan penjara seumur hidup atau penjara yang berjarak paling lama dua puluh tahun.

    Masalah perzinahan dalam hukum pidana positif juga perlu dikritisi. Apabila kita melihat pasal 284-290 KUHP tentang Perbuatan Asusila Perzinahan, ada benang merah yang bisa ditarik bahwa asas yang dianut dalam terminologi zina dikenakan bagi orang yang sudah dalam ikatan perkawinan dan melakukan penyelewengan. Sedangkan orang yang masih lajang tidak diungkapkan secara eksplisit. Beda dengan hukum pidana Islam, bahwa perzinahan dikenakan bagi orang yang melakukan perbuatan zina, baik ia sudah beristeri/bersuami maupun ia masih lajang.

    Dalam masalah sanksi hukum yang dikenakan dalam perzinahan, hukum pidana positif hanya mengenakan hukuman penjara paling lama 9 tahun bagi pezina, tidak mengenal adanya hukuman jilid, ranjam, maupun pengasingan, ini yang berlaku dalam hukum pidana Islam. Hukuman jilid dan ranjam dalam hukum Islam diarahkan pada pengimbangan faktor psikologis yang mendorong berbuat zina maka ia harus merasakan ancaman sengsara.

    Hukum pidana positif sangat kurang mengapresiasi akan implikasi psikologis terhadap perzinahan. Sehingga implikasi hukumnya juga menjadi sangat ringan. Aktualisasi yang terjadi sekarang bahwa pasal perzinahan sangat tidak efektif untuk menjaring pelaku-pelaku perzinahan dan pasal-pasal tersebut menjadi pasal prasasti. Banyak juga kalangan pejuang keadilan perempuan bahwa pasal-pasal perzinahan dalam KUHP tidak memenuhi rasa keadilan dan kemanusiaan.

    Perbuatan cela yang juga menjadi perhatian hukum Islam adalah mabuk dengan meminum khamr. Dalam pidana positif, mabuk hanya dikategorikan sebagai pelanggaran. Hal ini tercantum dalam pasal 536 KUHP dengan ancaman sanksi hukum yang sangat tidak relevan dengan implikasi perbuatannya. Hukuman bagi pemabuk disebutkan paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah, dan paling tinggi dikenakan kurungan paling lama tiga bulan penjara.

    Apabila kita komparasikan dengan sanksi hukum dalam pidana Islam sangat tidak berimbang. Islam sangat menghormati kesehatan akal sebagai salah satu lima hal pokok yang harus dilindungi, maka Islam sangat berkompeten menerapkan jilid 80 kali atau menurut Imam Syafi’i 40 kali sebagai had dan 40 kali sebagai ta’zir bagi orang yang mabuk. Karena perbuatan yang ditimbulkannya meresahkan masyarakat dan menghilangkan kehormatannya sebagai manusia.

    KHATIMAH

    Dari berbagai deskripsi dan penelaahan terhadap KUHP dengan pendekatan hukum Islam, ada beberapa harmonisasi antara KUHP dan hukum pidana Islam terutama dalam kerangka yang lebih makro berkaitan dengan kategorisasi, asas-asas, dan kerangka sistematika. Harmonisasi juga terjadi pada kerangka tujuan hukuman bahwa baik hukum pidana positif maupun hukum pidana Islam, sama-sama menghendaki hukuman menjadikan pelaku jera dan usaha preventif.

    Namun dalam kerangka material dan substansi nilai yang melandasi pemberlakuan hukum secara material masih memerlukan kajian. Karena secara material, terutama berkaitan dengan sanksi hukum, KUHP masih jauh dari rasa keadilan jika diukur dari hukum Islam, yang seharusnya menjadi inti dari eksistensi hukum. Seperti sanksi pelaku perzinahan dan peminum minuman keras.

    Dalam optimalisasi kontribusi hukum pidana Islam dalam hukum pidana Nasional yang perlu dikembangkan adalah filsafat, semangat keadilan dan proses sosialisasi yang mengarah kepada perubahan pandangan sempit terhadap hukum pidana Islam. Kerena selama ini, sebagian masyarakat dan aparat negara masih menganggap phobi terhadap hukum pidana Islam yang anti kemanusiaan.

    Demikian, mari kita diskusikan. 
    DAFTAR PUSTAKA

    Al-Zarqa, Muhammad, Al-Fiqh Al-Islami Fi Tsaubihi Al-Jadid Al-Madkhal Al-Fiqh Al-‘Am, Kairo: Dar Al-Fikr, 1968.
    Bisri, Cik Haas (ed.), Peradilan Islam di Indonesia, Jakarta: Ulul Albab Press, 1997.
    Djamali, SH., Abdul, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1993.
    Hamzah, SH., Andi & Sumangelepu, Pidana Mati di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983.
    Hanafi, MA., Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
    Kansil, SH., C. S. T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1989.
        , Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
    Muslehuddin, Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, Terjemahan oleh Yudian Asmin dari Philosophy Of Islamic Law, Jakarta: Tiara Wacana, 1991.
    Sabiq, Sayyid, Fiqh As-Sunnah, Kairo: Dar Al-Fikr, 1989.
    Soerodibroto, SH., R. Soenarto, KUHP dan KUHAP, Jakarta: Rajawali Press, 1991.

    Diketik oleh Moh. Hibatul Wafi dalam penyajian makalah.

    UUD 1945: Penetapan Sebagai Konstitusi Negara dalam Pendekatan Hukum Islam

    Oleh Dr. Sudirman Abbas

    HUKUM ISLAM VIS-À-VIS NEGARA-BANGSA
    SEBUAH LATAR PERSOALAN

    Negara-bangsa (nation-state) merupakan kenyataan sejarah yang tidak bisa dihindari oleh bangsa Indonesia dalam proses perumusan dasar negara dan konstitusinya. Selain karena tuntutan global, negara-bangsa saat itu menjadi konsep negara modern yang menjanjikan penyelesaian bagi setiap bangsa dalam menghadapi pluralisme. Karena itu, bisa dipahami jika Indonesia, sebagai bangsa yang pluralistik, kemudian mengikuti konsep ini. Hubungan antara agama (Islam) dan keharusan negara-bangsa pada dasarnya telah menjadi perhatian para pemikir dari zaman ke zaman. Semenjak Jamal al-Din al-Afghani (Mesir) hingga Abdurrahman Wahid (Indonesia), para pemikir Islam telah mencurahkan berbagai tawaran solutifnya tentang relasi reciprocal atau mutual Islam-negara-bangsa ini.

    Adalah positivisme yuridis,[1] mainstream madzhab hukum yang dianut oleh konsep negara-bangsa (nation-state) dewasa ini. Madzhab ini secara tegas menyatakan bahwa yang dapat diterima sebagai hukum yang sebenarnya hanyalah yang telah ditentukan secara positif oleh negara. Menurutnya, hukum hanya berlaku karena hukum itu mendapatkan bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang. Norma-norma kritis yang ada hubungannya dengan keinsyafan keadilan dalam hati nurani manusia (yang dapat disamakan dengan hukum alam zaman dahulu) tidak mempunyai tempat dalam sistem sosiologi hukum ini.

    Dengan demikian, dalam pandangan positivisme yuridis keberadaan hukum di tengah-tengah kehidupan masyarakat mesti tidak bebas nilai, tidak bebas kepentingan, dan tidak bebas kekuasaan. Hukum senantiasa dipenuhi dan diliputi dengan nilai-nilai, kepentingan-kepentingan, dan kuasa-kuasa tertentu sesuai dengan kehendak pembuatnya, aparatur negara. Bahkan, hukum itu sendiri merupakan akumulasi dan formulasi dari sinergi ketiga hal tersebut.

    Oleh karena itu, mengikuti logika ini hukum tidaklah netral dan tidak pula obyektif. Hukum diciptakan dan dibuat untuk memihak dan membela, bukan semata-mata untuk memberikan perlindungan dan pengayoman bagi masyarakat demi tegaknya keadilan dan kebenaran.[2]  Demikian ini wujud peran hukum sebagai a tool of social engineering.[3] Tetapi, pandangan yang demikian tidak sepenuhnya benar, karena kalaui dilihat secara jernih hukum itu sesungguhnya adalah pisau bermata dua. Di satu pihak, hukum bisa menjadi hukum yang menindas (repressive laws), dan di lain pihak ia bisa menjadi hukum yang membantu ke arah perubahan (facilitative laws), atau sebagai alat perubahan sosial (agent of social change).[4]

    Hukum memang bukan sekedar kumpulan teks-teks semata, ia mempunyai tujuan, jangkauan, dan kehendak-kehendak sosial tertentu. Untuk itu berbicara hukum, apapun bentuk dan labelnya, tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial politik di mana hukum itu diciptakan, atau bagaimana konteks politik hukum berkembang saat hukum itu muncul.

    Karenanya benar, Moh. Mahfud MD. dalam disertasi doktornya menyatakan bahwa karakter produk hukum senantiasa dipengaruhi atau ditentukan oleh konfigurasi politik yang melahirkannya. Artinya, konfigurasi politik tertentu dari kelompok dominan (penguasa) selalu melahirkan karakter produk hukum tertentu pula sesuai dengan visi politiknya.[5] Teori ini berlaku bila didasarkan pada asumsi bahwa hukum merupakan produk politik, atau ia diberlakukan atas legitimasi politik, sehingga karakter hukumnya akan sangat tergantung pada imbangan kekuatan politik (konfigurasi politik) yang melahirkannya.

    Mempertimbangkan teori di atas, jelaslah bahwa UUD 1945 merupakan produk politik yang diberlakukan dan mendapatkan kewenangan dari negara sebagai hukum dasar (konstitusi) bagi negara Indonesia. Karena itu, keberadaannya inheren dengan nilai-nilai, kepentingan-kepentingan, dan kuasa-kuasa tertentu dari negara sebagai alat perekayasa sosial negara. Paralel dengan itu, UUD 1945 bisa dipastikan mempunyai suatu karakter hukum yang spesifik sesuai dengan konfigurasi politik yang melahirkannya saat itu.[6]

    Penting pula dicatat bahwa UUD 1945 lengkap dengan model redaksi dan substansinya merupakan jawaban dari tuntutan hukum negara modern yang sering disebut negara-bangsa. Kenyataan ini tampak dalam sejarah saat UUD 1945 dirumuskan setengah abad lalu.

    Persoalan kemudian muncul, terutama bagi umat Islam, bagaimana dengan status hukum Islam dan pelaksanaannya dalam pelataran konsep negara-bangsa seperti Indonesia ini. Tidakkah cukup UUD 1945 sebagai hukum dasar atas keberadaan dan penyelenggaraan negara ini. Ataukah hukum Islam dengan Al-Qur’an dan As-Sunnahnya perlu tampil tersendiri dalam masyarakat pluralistik ini. Karena itu, studi tentang pandangan hukum Islam atas kenyataan UUD 1945 sebagai dasar negara di negeri ini penting dilakukan sebagai sikap kompromis-kritis.[7] Penulis dalam tulisan ini ingin mencoba menjawabnya dengan melihat agama secara sosiologis dan dengan pendekatan filosofis, yakni filsafat hukum. 

    HUKUM ISLAM SEBAGAI PRODUK POLITIK: 
    PENDEKATAN SOSIOLOGIS

    Perspektif sosiologis memandang agama, termasuk Islam, di samping terkandung unsur ilahiah sebagai unsur yang asasi di dalamnya, juga terdapat “campur tangan” unsur manusia dalam implementasinya. Dan agama wahyu yang suci (sacred) kemudian karena perkembangan sejarahnya menjadi agama manusia biasa (interpreted) dengan seluruh darah dagingnya. Keputusan dan penafsiran para penganutnya dengan demikian mempengaruhi warna agama dalam sejarah, dan menentukan sosok agama itu dalam realitas konkret. Agama yang berangkat dari sejarah wahyu akhirnya menjadi sejarah manusia. Penganutnya dengan demikian mempunyai kompetensi untuk menerapkan prinsip agama sesuai dengan konteks historis zamannya.[8]

    Hukum Islam[9] diketahui sebagai bagian integral dari ajaran agama Islam seperti itu. Pada hakekatnya tampak jelas bahwa hukum Islam bukan produk politik, karena ia berasal dari Allah SWT dan bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah, akan tetapi dalam sejarahnya tidak jarang ditemukan; sebagai upaya menerapkan dan memberlakukan hukum Islam dalam suatu wilayah politik tertentu, ia membutuhkan legitimasi kekuasaan politik, bahkan dibahasakan dan dirumuskan dengan formulasi dan modifikasi politik tertentu seperti cara legislasi.[10] Dalam konteks seperti itu, bisa dikatakan bahwa dalam batas-batas tertentu hukum Islam merupakan produk politik juga.[11]

    Secara tekstual, memang tidak ada keharusan pemberlakuan aturan hukum Islam melalui keputusan politik atau legalitas penguasa, baik berupa Undang-Undang (taqnin) atau instrumen peraturan perundang-undangan lainnya.[12] Namun, dalam batas-batas tertentu legitimasi ini bisa merupakan suatu keharusan, karena besarnya manfaat bagi kepastian dan kekuatan hukum secara legal-positif sebagaimana yang digambarkan Ibn Taimiyah dalam pernyataannya:[13]

    فـمـن عـد ل عـن الـكـتـا ب قـوّم بـا لـحـد يـد ولهـذا كان قـوام الـد يـن بالمـصحـف والـسـيـف

    Dalam statemen ini, Ibn Taimiyah menekankan bahwa kekuasaan politik yang disimbolkan dengan pedang menjadi sesuatu yang essensial dan mutlak bagi agama, tetapi kekuasaan itu sendiri bukan agama. Dengan ungkapan lain, politik atau negara hanyalah sebagai alat bagi agama; ia bukan suatu ekstensi dari agama.[14] Dalam kaitan ini, kita pun sering mendengar pernyataan umum: “Islam adalah agama dan negara”.[15] Tak terkecuali, Hassan al-Banna dalam prinsip-prinsip organisasinya, al-Ikhwan al-Muslimun, menyatakan Islam itu adalah tata aturan yang lengkap, meliputi semua segi kehidupan. Islam adalah negara dan bangsa atau pemerintahan dan masyarakat. Moral dan kekuasaan, rahmat dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu pengetahuan dan hukum....[16]

    Dalam kancah keilmuan, hubungan agama dan negara, Islam dan politik atau hukum Islam dan kekuasaan politik memang selalu menjadi wacana yang menarik, baik oleh kalangan Islam sendiri maupun para orientalis.

    Wacana tersebut muncul berpangkal dari historitas Islam itu sendiri, terutama pasca kepemimpinan Rasulullah SAW. Sejarah mencatat, bahwa permasalahan pertama yang mengemuka pada generasi awal umat Islam sesudah Rasulullah SAW wafat adalah masalah kekuasaan politik atau pengganti Rasulullah SAW yang akan memimpin umat, baik dalam urusan politik murni maupun urusan keagamaan.[17] Semenjak inilah dalam pendekatan sosiologi sejarah, (hukum) Islam sesungguhnya mulai melakukan dialektika dengan kekuasaan politik, yang hari ini kita sebut negara. Namun, tantangan yang dihadapi saat itu tidak sekompleks sekarang. Corak masyarakat itu relatif homogen dan komunal. Karena itu, wacana yang mengemuka dari dialektika itu lebih didominasi aspek teologis.

    Kenyataan pluralisme, baik dalam agama, suku, ras, bangsa, maupun golongan menuntut lain. Kebutuhan sosial dari pluralisme adalah terwujudnya tatanan perikehidupan bersama yang damai, egalitarian, berkeadilan, demokratis, dan rukun. Karena itu, Pancasila hadir dan dirumuskan sebagai solusi terbaik atas persoalan ini. Selain karena mampu memberikan kesamaan persepsi dan memupuk integrasi atas pluralitas bangsa, Pancasila pun bisa menjadi way of life bagi bangsa Indonesia tanpa harus memperlihatkan unsur pluralitas tadi. Melihat kenyataan ini rupanya Islam yang merupakan agama mayoritas penduduk dalam peraturan sosial politik negara ini, dianggap bukan yang terbaik bagi bangsa Indonesia dalam membentuk nation-state yang mampu memayungi pluralitas bangsa.[18] Ini tampaknya selaras dengan doktrin Islam sendiri yang tak pernah mengajarkan Islam untuk dijadikan sebagai sebuah ideologi, apalagi bagi suatu negara yang penuh dengan kepentingan dan kuasa-kuasa relasional.

    UUD 1945 DAN HUKUM ISLAM:
    PENYELESAIAN PARADIGMATIK

    UUD 1945 dalam wacana ini merupakan derivasi-konstitusional dari penetapan ideologi Pancasila sebagai dasar negara. Karena itu, keberadaannya tak terpisahkan dari keberadaan Pancasila. Penafsiran dan penjabarannya tidak lepas dari parameter nilai Pancasila. Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, jika Pancasila diposisikan sebagai dasar negara, maka UUD 1945 adalah hukum dasarnya (droit constitutionnel). Pemahaman terhadap UUD 1945 harus diletakkan dalam konteks penjiwaan terhadap nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu, seperti disarankan KH. Achmad Siddiq, mantan Ketua Umum (Ra’is ‘Aam) PBNU, tatkala kita mengucapkan atau menulis tentang relasi Pancasila UUD 1945, sebaiknya tulislah: “Pancasila menurut UUD 1945, bukan Pancasila dan UUD 1945”.[19]

    Diskursus-akademis lebih jauh dari penghadapan hukum Islam (agama) terhadap instrumen-instrumen negara-bangsa (UUD 1945) dengan mempertimbangkan kemungkinan hukum Islam memetamorfosis menjadi produk politik, maka kerangka yang mungkin baik untuk dikembangkan saat ini adalah mendudukkan agama (hukum Islam) dan UUD 1945 pada sebuah pola relasional yang jelas dan fungsional. Selama ini UUD 1945 hanya dilihat sebagai pengatur lalu lintas ketatanegaraan dan tameng relasi agama negara atau antar agama dengan agama lain belaka, agar tidak timbul pertentangan hebat antara para pemeluk berbagai agama dengan negara, maupun antar pemeluk agama itu sendiri.

    Diskusi tentang agama vis-a-vis Pancasila dan UUD 1945, bagi umat Islam Indonesia sudah selesai. Memang Pancasila dan UUD 1945 di satu pihak dan agama di pihak lain tidak bisa diidentikkan secara menyeluruh, karena fungsi masing-masing saling berbeda. Pancasila dan UUD 1945 berfungsi sebagai landasan hidup dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, menjadi kerangka kemasyarakatan yang mengatur hidup kita sebagai kolektifitas yang disebut bangsa (nation). Dalam keadaan demikian, Pancasila dan UUD 1945 haruslah mewadahi aspirasi agama dan menopang kedudukannya secara fungsional dalam kehidupan bersama. Sedangkan agama memberikan kepada kolektifitas tersebut suatu tujuan kemasyarakatan (social purpose) yang trasedental. Spriritualitas dan religiositas kehidupan ini diatur dan diberi arahan oleh ajaran yang disebut agama. Tanpa tujuan kemasyarakatan yang jelas dan nyata, hidup bangsa ini hanya akan berputar-putar pada siklus pertentangan antara cita pemikiran dan kecenderungan naluri alamiah belaka.

    Penyelesaian paradigmatik semacam inilah yang diselesaikan NU dalam Keputusan Muktamarnya ke-26 di Situbondo 1984. Argumen ini disampaikan oleh KH. Achmad Siddiq pada MUNAS NU 1983, yang kemudian dikukuhkan menjadi “Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila”. Deklarasi ini pulalah yang menyelesaikan penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Deklarasi itu selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
    1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama, dan tidak dapat diperguanakan untuk menggantikan agama.
    2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) UUD 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
    3. Bagi NU, Islam adalah aqidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.
    4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya.
    5. Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, NU berkewajiban menjaga pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
    Oleh Nurcholish Madjid dinyatakan bahwa apa yang terkandung dalam UUD 1945 dan Pancasila bukanlah titik akhir dari kontroversi ideologis di Indonesia. Walaupun UUD 1945 ini oleh mayoritas rakyat, dari sudut agama telah dianggap netral, orang-orang Islam terbiasa memandangnya sebagai bentuk lain dari kompromi antara mereka dengan orang-orang sekularis. Walaupun dilihat dari perspektif orang-orang Muslim, hal itu diakui sebagai kompromi yang lemah, tapi sedikit banyaknya undang-undang ini tetap memberikan manfaat yang utama bagi status Islam di negeri ini.[20]

    Lebih jauh dari itu, Harun Nasution melalui kacamata filsafatnya mengakui bahwa Pancasila tidak bertentangan, melainkan sejalan dengan Islam. Bahkan, sila-sila yang dikandung Pancasila adalah juga ajaran-ajaran dasar yang terdapat dalam Islam. Mengutip Almarhum Zainal Abidin Ahmad, seeorang pemimpin Islam yang pada masa akhir hayatnya memangku jabatan Rektor PTIQ Jakarta, Harun menyetujui bahwa negara Pancasila merupakan bentuk final bagi umat Islam Indonesia.[21] Konklusi Zainal Abidin Ahmad tentang keislaman negara Pancasila didasarkan pada ciri-ciri negara Islam dalam pandangannya, yaitu:[22]
    1. Penduduk mayoritas Islam.
    2. Kepala negara Islam.
    3. Ideologi negara sejalan dan tidak bertentangan dengan Islam, sungguh pun di bawah nama lain, seperti Pancasila.
    4. Undang-undang tidak bertentangan dengan Islam.
    5. Undang-Undang Dasar mengandung prinsip musyawarah dan dasar-dasar demokratis lainnya.
    Menegaskan paradigma ini, benar pernyataan Abdurrahman Wahid, bahwa antara agama dan Pancasila terdapat hubungan simbiotik, yang satu tak dapat hidup di Indonesia tanpa yang lain. Hubungan simbiotik itulah yang memunculkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, bukannya hanya sekedar ideologi formal negara belaka.[23]

    Kesimpulan ini diperkuat dengan kenyataan sejarah Muslim (moslem history) dan pemikiran politik ilmuwan Muslm (political thought of moslem intelectuals) sepanjang zaman yang tidak pernah menawarkan konsep tunggal tentang negara dan sistem pemerintahan.[24] Bahkan doktrin Islam, baik Al-Qur’an dan Al-Sunnah, pun dalam berbagai teksnya tidak pernah mengajarkan sistem pemerintahan (negara) tertentu yang harus dianut oleh umat Islam dalam mengatur kehidupan bersama. Islam, terlebih dicontohkan Piagam Madinah, hanya memberikan pedoman ajaran berupa seperangkat prinsip dan tata nilai etik bagi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Prinsip-prinsip ini bersifat universal sesuai dengan watak dasar Islam yang transhistoris dan eternal.[25] Karena itu, umat Islam mempunyai kebebasan dan keleluasaan untuk merumuskan konsep kenegaraannya sendiri, asalkan tetap mengacu pada prinsip dan tata nilai etik Islam. UUD 1945 merupakan upaya maksimal para the founding fathers negeri ini, yang sebagian besar cendekia Muslim (ulama), dalam merumuskan prinsip-prinsip dasar, ketatanegaraan, dan sistem pemerintahan negara Indonesia yang berpenduduk plural, baik agama, suku, ras, maupun budaya.

    Kiranya tidak berlebihan dan apologetik, dengan berbagai kekurangan dan kelemahan UUD 1945 dalam takaran tuntutan HAM dan demokrasi kontemporer, dikatakan bahwa UUD 1945 yang ada sekarang ini dalam batas minimal, setidaknya telah memenuhi beberapa prinsip dasar dan tata nilai etik Islam dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, dan tidak bertentangan dengannya. Beberapa prinsip dasar dan tata nilai etik tersebut adalah sebagai berikut:
    1. Musyawarah.
    2. Kesatuan umat (bangsa).
    3. Kolektifitas dan solidaritas.
    4. Pembelaan dan perlindungan terhadap yang lemah.
    5. Keadilan sosial.
    6. Perdamaian antar sesama dan lingkungan.
    7. Persamaan di depan hukum.
    8. Kebebasan beragama.
    9. Menjunjung tinggi HAM.
    10. Nasionalisme.
    11. Equalitas sosial.
    Prinsip-prinsip semacam ini secara teknis bisa dilihat pada keseluruhan pasal-pasal dan penjelasan UUD 1945.

    Sedangkan perihal tidak adanya kata “Islam” maupun “Al-Qur’an” di dalam UUD 1945 tidak mengurangi penilaian Islami tadi. Sebab, dalam naskah Piagam Madinah yang dibuat Nabi Muhammad SAW sekalipun tidak terdapat di dalamnya kata “Islam” dan “Al-Qur’an” sebagai dasar bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sekiranya dalam suatu dustur atau Undang-Undang Dasar harus dituliskan kata “Islam” atau “Al-Qur’an”, tentu Nabi Muhammad SAW mencantumkan kata-kata itu dalam Piagam Madinah.[26] Justeru dalam perspektif redaksional, UUD 1945 dicurigai sebagai tafsir ulama dan negarawan Muslim Indonesia terhadap khazanah ketatanegaraan kreasi umat dahulu. Secara nyata pasal 29 ayat (1) UUD 1945 merupakan pergantian redaksi dari “Negara berdasar Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.[27] Selain itu, juga banyak ditemukan redaksi yang mungkin mencerminkan kekhasan (politik) Islam, di antaranya: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”, “Majelis”, “Permusyawaratan”, “Wakil”, “Demi Allah”, dan sejenisnya.

    Penting diberi catatan, bahwa analisis di atas merupakan kajian pada tataran idiil dan konseptual. Sebab diakui secara jujur, Islam baik doktrin maupun sejarah, tidak pernah menawarkan suatu sistem negara dan kepemerintahan tertentu yang harus diratifikasi umatnya, sebagaimana UUD 1945 ini. Karena itu, harus dibedakan dengan analisis empiris-operasional. Pada tataran yang terakhir ini juga penting dipertimbangkan untuk menilai suatu kondisi negara disebut Islami atau tidak. Pelaksanaan dan implementasi UUD 1945 dalam kehidupan nyata dengan demikian juga semestinya menjadi bagian yang integral dalam penilaian, apakah negara Indonesia dengan UUD 1945-nya ini bisa disebut Islami atau tidak. Keterkaitan erat konsep dengan pelaksanaan, karena “negara” yang dicita-citakan Islam tidak saja berhenti pada tataran ide dan prinsip, melainkan juga dituntut untuk dilaksanakan demi kemaslahatan dan keadilan semesta.

    POSTWACANA: CATATAN KRITIS

    Maka jelaslah dalam tataran paradigmatik, UUD 1945 sebagai hukum dasar negara Indonesia, tidak bertentangan dengan hukum Islam. UUD 1945, dengan berbagai kelebihan dan kelemahannya, sengaja dikontruksi dalam makna dan bahasa yang inklusif mengingat kenyataan masyarakatnya yang pluralistik.

    Eksistensi UUD 1945 sebagai hukum dasar bagi negara Indonesia dalam pandangan Islam dianggap absah. Kendati dalam takaran “Islam historis”, UUD 1945 secara konseptual telah terselesaikan, namun untuk menyongsong zaman “Islam Mendepan” yang lebih demokratis, manusiawi, egalitarian, dan senantiasa mendasarkan pada kemaslahatan dan keadilan semesta, maka substansi UUD 1945 tidak ada salahnya bila dilakukan penyempurnaan sesuai dengan tuntutan HAM dan demokrasi, terutama dalam pelaksanaan (law enforcement) dan instrumen perwujudannya dalam sistem kehidupan nyata.

    FOOTNOTE

    [1] Positivisme Yuridis dipelopori oleh aliran hukum humanisme, antara lain oleh Jean Bodin dengan ide-idenya tentang kedaulatan Raja. Tokohnya ialah Rudolf von Jhering (1818-1892 M). Sebagaimana positivisme sosiologis, positivisme yuridis menganut apa yang ditetapkan sebagai kenyataanlah yang dapat diterima sebagai kebenaran. Positivisme sebagai sistem filsafat muncul pada awal abad XIX M. Tokohnya adalah Auguste Comte (1798-1857 M) dan Herbert Spencer (1820-1903 M). Lihat Theo Huijbers, Filsafat Hukum Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hlm. 122-130.

    [2] Ibid, hlm. 293.

    [3] Konsep law as a tool of social engineering diramu oleh Roscoe Pound. Konsep ini didasarkan pada keadaan masyarakat Amerika yang senjang. Pound ingin memperbaiki kesenjangan ini dengan mendayagunakan hukum. Jadi, di samping berakar pada liberalisme, konsep ini juga terlalu memistifikasikan hukum. Konsep ini mengarah pada terjadinya perbaikan sosial bukan pada perubahan sosial, sama dengan pola trickle down effect bagi strategi pencapaian kemakmuran ekonomi. Lihat T. Mulya Lubis, Hak Asasi Manusia dan Pembangunan, (Jakarta: YLBHI, 1987), hlm. 22.

    [4] Ibid, hlm. 21.

    [5] Moh. Mahfud MD., “Perkembangan Politik Hukum: Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia”, Disertasi Doktor dalam Ilmu Hukum pada UGM, (Yogyakarta: tidak diterbitkan, 1993), hlm. 675.

    [6] Mengenai bagaimana bentuk nilai, kepentingan, kuasa, dan karakter hukum tersebut perlu dilakukan studi tersendiri.

    [7] Diskursus Islam vis-a-vis Negara-Bangsa atau wujud negara Indonesia dengan Pancasila dan UUD 1945, sebetulnya telah dapat diselesaikan lama, terutama oleh Nahdhatul Ulama (NU). Dengan meletakkan kunci masalah pada pengesahan hukum fiqh, NU mampu melakukan sebuah proses penyesuaian dengan tuntutan sebuah negara modern. Semenjak masa perang kemerdekaan, NU melalui fatwa Ra’is Akbar KH. M. Hasyim Asy’ari (yang kemudian dikukuhkan sebagai Keputusan Muktamar NU ke-16 di Purwokerto, 26-29 Maret 1946) telah mengeluarkan “Fatwa Resolusi Jihad”, 22 Oktober 1945, yang mempunyai hukum ikat “furdl ‘ain” bagi setiap orang Islam dalam radius 94 km untuk mendukung bentuk negara baru Republik Indonesia, juhad fii sabilillah melawan Belanda. Bahkan penting dicatat, jauh sebelum itu, Muktamar NU tahun 1936 di Banjarmasin, bahwa daerah Jawa (ardl Jawa) dalam arti Nusantara adalah Dar Al-Islam, padahal ketika itu daerah tersebut dikuasai oleh pemerintah Belanda. Keputusan yang sama juga, NU menolak kehadiran “Negara Islam Indonesia (NII)” yang didirikan oleh Kartosuwiryo dkk., bahkan sejak semula para ulama NU telah menyatakannya sebagai bughat (pemberontak) yang harus di basmi. Untuk keperluan itulah, NU dalam Muktamar Konferensi Alim Ulama di Cipanas 1954 mengukuhkan kedudukan Kepala Negara Republik Indonesia (Ir. Soekarno) sebagai waliy Al-amri Al-dlaruri bi Al-syaukah (pemegang pemerintahan sementara (defakto) dengan kekuasaan penuh). Kemudian terkahir pada Keputusan Muktamar NU XXVII di Situbondo menegaskan keabsahan secara fiqh Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan UUD 1945 sebagai hukum dasarnya. Hubungan Pancasila dan Islam diselesaikan NU dalam Keputusan MUNAS Alim Ulama 1983 di Situbondo dengan “Deklarasi Hubungan Pancasila dan Islam”. Lebih tegas KH. Achmad Siddiq dinyatakan bahwa wujud negara Republik Indonesia merupakan upaya final seluruh bangsa, terutama kaum muslimin, untuk mendirikan negara di wilayah Nusantara. Bagi NU, tidak ada alasan apapun untuk menolak Pancasila dan UUD 1945, selama ia tidak berfungsi menggantikan kedudukan agama dan mengganggu pengalaman agama bagi pemeluknya. Baca Abdurrahman Wahid, “Nahdhatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fiqh dalam Politik", (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 4-5.

    [8] Denny J.A., “Legislasi Hukum Islam dan Integrasi Nasional”, PESANTREN No. 2/Vol. VII/1990, (Jakarta: P3M, 1990), hlm. 7-8.

    [9] Penulis merasa kesulitan untuk membedakan term “hukum Islam” (bahasa Indonesia) dengan term Fiqh, Syari’ah, dan Al-Syar’i. Dalam ilmu ushul Al-Fiqh dan ilmu Al-Fiqh masing-masing term tersebut mempunyai ta’rifnya. Tampaknya, term “hukum Islam” (istilah Indonesia) dalam konteks hukum positif Indonesia hanyalah untuk membedakan dari term hukum Barat, hukum Adat, dll. Pembedaan ini untuk menunjukkan bahwa hukum tersebut adalah hukum yang berasal dari agama Islam. Karena itu, hukum Islam yang dilihat oleh sistem positivisme yuridis adalah hukum Islam yang real menyejarah hidup di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia (living law), bukan hukum yang ideal dan doktrinal.

    [10] Seperti yang terjadi di Turki Usmani, pada tahun 1876 pmerintah Turki membuat kodifikasi hukum Islam dengan nama Mejellet-i Ahkam Adiliye.

    [11] Bandingkan dengan Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, alih bahasa Yudian W. Asmin, dkk., (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm. 191-192.

    [12] Al-Qur’an tidak mengatur hal itu. Bahkan bentuk pemerintahan pun tidak diatur. Argumen yang menyatakan wajib adanya pemerintahan dalam rangka memberlakukan hukum Islam adalah konsensus sahabat. Malah menurut Hatim Al-‘Asam, seorang zahid yang hidup pada abad III H., dari kalangan Mu’tazilah, yang penting adalah berjalannya peraturan hukum dan berlakunya keadilan dalam masyarakat. Bagi Al-Muhakkimah dan Al-Najdah dari kalangan Khawarij, kalau semua itu sudah berjalan dengan baik, pemerintahan pun tak perlu diadakan. Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: 1972), hlm. 41. Lihat pula H. Zaeni Ahmad Noeh, “Lima Tahun UU Peradilan Agama: Sebuah Kilas Balik”, Mimbar Hukum No. 17 Tahun V 1994, (Jakarta: Al-Hikmah & Ditbinbapera Islam, 1994), hlm. 13.

    [13] Ibn Taimiyah, Al-Siyasah Al-Syar’iyyah Fi Ishlah Ar-Ra’yi Wa Al-Ra’iyyah, Cet. IV, (Mesir: Dar Al-Kitab Al-‘Arabi, 1979), hlm. 26. Lihat juga Qamaruddin Khan, The Political Thought of Ibn Taimiyah, (Islamabad: Islamic Research Institute, 1973), hlm. 54.

    [14] Fazlur Rahman, seperti yang dikutip A. Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 14-15. 

    [15] Pernyataan semacam itu lantang menggema di dunia internasional tatkala Ayatullah Imam Khomeini melakukan perjuangan dengan Revolusi Irannya. Baca John J. Donohue & John L. Esposito (Penyunting), Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-Masalah, alih bahsa Drs. Machnun Husein, Cet. IV, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 456.

    [16] Al-Imam Al-Syahid Hassan Al-Banna, Al-‘Aqdid, Syarkh Ushul Al-‘Isyrin, Ila Al-Syabab, (Kuwait: Al-Manar Al-Islamiyah, 1371 H), hlm. 1.

    [17] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: LSIK, 1994), hlm. Ix; Abd. Muin Salim, Konsepsi Politik dalam Al-Qur’an, (Jakarta: LSIK, 1994), hlm. 1.

    [18] Terbukti, tatkala BPUPKI telah berhasil menyusun “Piagam Jakarta” pada tanggal 22 Juni 1945, yang menempatkan syari’at Islam pada sila pertama, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan piagam itu diprotes tegas oleh kalangan Kristen dari Sulawesi Utara, tanah kelahiran A.A. Maramis. Lalu, sila tersebut diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Anak kalimat “...dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus. Bukti lain adalah kegagalan kelompok-kelompok Islam untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara pada Sidang Konstitunste 1959. Kegagalan ini karena tidak disetujuinya oleh kelompok-kelompok nasionalis, komunis, dan sekuler. Diskusi mengenai ini baca Endang Saefuddin Anshori, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis “Sekuler” Tentang Dasar Negara RI 1945-1959, (Bandung: Pustaka Perpustakaan Salman ITB, 1981).

    [19] KH. Achmad Siddiq, Pemulihan Khittah NU 1926, makalah disampaikan pada MUNAS Alim Ulama NU 1983 di Situbondo. Makalah ini juga disampaikan kembali dalam Muktamar NU XXVII di tempat yang sama.

    [20] Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 7.

    [21] Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Jakarta, 1995), hlm. 223.

    [22] Zainal Abidin Ahmad, Membentuk Negara Islam, (Jakarta: Wijaya, 1956), hlm. 155-156.

    [23] Abdurrahman Wahid, Pancasila dan Kondisi Obyektif Kehidupan Beragama, Artikel pada KOMPAS, 20 Juli 1985.

    [24] Untuk kesejarahan Islam, lihat mislanya corak pemerintahan zaman Rasulullah, Khulafa’ Rasyidun, Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah, Bani Fathimiyyah, Mesir, Turki, Arab Saudi, Iran, Irak, dan sebagainya. Sepanjang zaman itu, corak dan sistem ketatanegaraannya berbeda. Tak ada sistem satu pun yang menjadi keniscayaan bagi zaman yang lain. Sedangkan untuk pemikiran politik Islam, baca misalnya: karya Ibn Abi Rabi’ (w. 840 M) tentang Suluk Al-Malik Fi Tadbir Al-Mamalik; Ibn Qutaybah (w. 889 M) tentang Al-Imamah Wa Al-Siyasah; Al-Mawardi (w. 450 H/1058 M) tentang Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah dan Adab Al-Dunya Wa Al-Din; Abu Ya’la Ibn Al-Farra’ (w. 458 H) tentang Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah; Al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) tentang Al-Iqtishad Fi Al-‘Itiqad dan Al-Tibr Al-Masbuk Fi Nashihat Al-Muluk; Ibn Taimiyah (w. 728 H/1328 M) tentang Al-Siyasah Al-Syar’iyyah Fi Ishlah Al-Ra’iy Wa Al-Ra’iyyah dan Minhaj Al-Sunnah; Ibn Khaldun (w. 808 H/1406 M) tentang Muqaddimah; dan ulama-ulama kontemporer, seperti Ali Abd. Raziq, Al-Maududi, Muhammad Husein Haikal, dan sebagainya. Sederetan pemikir-pemikir politik ini tak satu pun yang menawarkan konsep ketatanegaraan dan kepemerintahan yang tunggal. Ini artinya, memang perihal sistem negara dan pemerintahan dalam Islam bersifat kultural dan sosiologis. Karenanya, bisa saja sekelompok kaum Muslimin membuat sistem negara dan ketatanegaraan tersendiri yang berbeda dari semuanya, asalkan tetap mengacu pada prinsip dasar dan tata nilai etik yang telah ditentukan Al-Qur’an dan Al-Sunnah.

    [25] Munawir Sjdzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Edisi V, (Jakarta: UI-Press, 1993), hlm. 233. Bandingkan dengan Harun Nasution dan Azyumardi Azra, (ed.), Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm. 2.

    [26] Bandingkan dengan Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta: UI-Press, 1995), hlm. 173-174.

    [27] Notonagoro, Pemboekaan Undang-Undang Dasar 1945, (Yogyakarta: UGM, 1956), hlm. 54.

    DAFTAR PUSTAKA

    Ahmad, Zainal Abidin, Membentuk Negara Islam, Jakarta: Wijaya, 1956.
    Al-Banna, Al-Imam Al-Syahid Hassan, Al-‘Aqdid, Syarkh Ushul Al-‘Isyrin, Ila Al-Syabab, Kuwait: Maktabah Al-Manar Al-Islamiyah, 1371 H.
    Anshori, Endang Saefuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Konsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis “Sekuler” tentang Dasar Negara RI 1945-1959, Bandung: Pustaka Perpustakaan Salman ITB, 1981.
    Donohue, Jhon J. & Jhon L. Esposito (Penyunting), Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-Masalah, Alih Bahasa Drs. Machnun Husein, Cet. IV, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
    Haidar, M. Ali, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994.
    Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982.
    J. A., Denny, Legislasi Hukum Islam dan Integrasi Nasional, PESANTREN No. 2/Vol. VII/1990, Jakarta: P3M, 1990.
    Khan, Qamaruddin, The Political Thought Of Ibn Taimiyah, Islamabad: Islamic Research Institute, 1973.
    Lubis, T. Mulya, Hak Asasi Manusia dan Pembangunan, Jakarta: YLBHI, 1987.
    Ma’arif, A. Syafi’i, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1987.
    Madjid, Nurcholish, Islam Agama Peradaban: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995.
    MD., Moh. Mahfud, Perkembangan Politik Hukum: Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia, Disertasi Doktor dalam Ilmu Hukum pada UGM, Yogyakarta: tidak diterbitkan, 1993.
    Muslehuddin, Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, Alih Bahasa Yudian W., Asmin, dkk., Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.
    Nasution, Harun dan Azyumardi Azra (ed.), Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985.
        , Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI-Press, 1972.
        , Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Jakarta, 1995.
    Noeh, H. Zaeni Ahmad, Lima Tahun UU Peradilan Agama: Sebuah Kilas Balik, MIMBAR HUKUM No. 17 Tahun V 1994, Jakarta: Al-Hikmah & Ditbinbapera Islam, 1994.
    Notonagoro, Pemboekaan Oendang-Oendang Dasar 1945, Yogyakarta: UGM, 1956.
    Pulungan, J. Suyuthi, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: LSIK, 1994.
    Salim, Abd. Muin, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, Jakarta: LSIK, 1994.
    Siddiq, KH. Achmad, Pemulihan Khittah NU 1926, makalah disampaikan pada MUNAS Alim Ulama NU 1983 di Situbondo, 1983.
    Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Edisi V, Jakarta: UI-Press, 1993.
    Sukardja, Ahmad, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, Jakarta: UI-Press, 1995.
    Taimiyah, Ibn, Al-Siyasah Al-Syar’iyyah Fi Ishlah Ar-Ra’yi Wa Al-Ra’iyyah, Cet. IV, Mesir: Dar Al-Kitab Al’Arabi, 1979.
    Wahid, Abdurrahman, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa Ini, PRISMA No. 4, Jakarta: LP3ES, 1984.
    Wahid, Abdurrahman, Pancasila dan Kondisi Obyektif Kehidupan Beragama, Artikel pada KOMPAS, 20 Juli 1985, 1985.

    Diketik oleh Moh. Hibatul Wafi dalam penyajian makalah.